Bisnis.com, JAKARTA -- Polusi udara yang "menyerang" Jakarta beberapa waktu terakhir membuat Tiara Sutari tak pernah melepas masker dari wajahnya setiap beraktivitas di luar rumah. Perempuan yang berprofesi sebagai pekerja media tersebut mengaku acap kali sesak nafas sejak mulai mencari nafkah di ibu kota pada 2016.
Puncaknya, dia sempat mengalami batuk darah dan harus dirawat di rumah sakit 2 tahun silam. Dokter memvonis Tiara terkena Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) akibat sering menghirup udara berpolusi.
Sempat tak kambuh sejak keluar dari rumah sakit, kini dia kembali mengalami kondisi yang sama.
"Sepanjang tahun lalu, saya tidak pernah merasakan apa-apa. Saya pikir sudah sembuh total. Namun, saya mulai mengalami batuk-batuk dan sesak napas lagi sejak awal tahun ini. Gejalanya mirip saat saya dirawat di rumah sakit," ujar Tiara kepada Bisnis, Minggu (14/7/2019).
Sejumlah orang menggunakan masker untuk melindungi diri dari polusi udara saat menyeberang di jembatan penyeberangan orang di Sarinah, Jakarta, Senin (9/10/2017)./ANTARA-Galih Pradipta
Baca Juga
Munculnya gejala ISPA yang dirasakan Tiara bukan tanpa alasan. DKI Jakarta memang tengah mengalami krisis udara bersih. Kota terbesar di Indonesia ini masih masuk dalam tiga besar daftar kota dengan kualitas tidak sehat atau terburuk di dunia berdasarkan indeks kualitas udara situs Air Visual.
Berdasarkan pantauan pada situs airvisual.com pada Selasa (16/7) pukul 16.15 WIB, Jakarta menempati peringkat kelima kota dengan kualitas udara terburuk, berturut-turut di bawah Santiago (Chile), Dhaka (Bangladesh), Kolkata (India), dan Krasnoyarsk (Rusia). Patut dicatat bahwa Jakarta sempat bertengger di peringkat satu dengan indeks 220, beberapa waktu lalu.
AQI merupakan indeks yang digunakan Air Visual untuk mengukur tingkat keparahan polusi udara di sebuah kota. Indeks ini merupakan gabungan dari enam polutan utama, yaitu PM2.5, PM10, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3) di permukaan tanah.
Rentang nilai AQI adalah 0-500. Makin tinggi nilai AQI, makin parah pula tingkat polusi udara di kota tersebut dan efeknya pun makin berbahaya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menilai data yang dirilis oleh situs Air Visual tidak menggambarkan kondisi udara secara keseluruhan.
"Data yang keluar di Air Visual itu dari Kedutaan Besar (Kedubes) AS. Jadi kan menggambarkan kualitas udara di sekitar Gambir saja, tetapi belum kualitas udara di seluruh Jakarta," katanya, beberapa waktu lalu.
Kekurangan Alat Ukur
Anies menilai tidak akuratnya data pencemaran udara terjadi lantaran minimnya alat ukur yang dimiliki pemerintah. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, baru ada 5 alat pemantau kualitas udara yang telah mengukur 5 pencemar udara yaitu PM10, SO2, CO, O3, serta NO2. Dari 5 alat, 3 di antaranya telah melakukan pengukuran PM2.5.
Selain itu, terdapat tiga stasiun pemantau yang bergerak untuk mengukur polutan yang sama. Rencananya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan menambah alat ukur kualitas udara hingga 10-15 titik sebagai solusi jangka pendek.
Lebih lanjut, Anies juga meminta masyarakat agar mau menggunakan transportasi umum untuk beraktivitas setiap hari. Pasalnya, polusi udara merupakan residu dari kegiatan perekonomian di Jakarta.
"Transjakarta jangkauannya sudah lebih luas. Ada MRT dan juga kendaraan-kendaraan umum lainnya. Gunakan itu," ucapnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menuturkan asap kendaraan menjadi penyumbang terbesar polusi udara di ibu kota.
"[Penyumbang polusi] Terbesar dari kendaraan. Sebanyak 75 persen itu transportasi, selebihnya ya aktivitas industri dan domestik. Kita juga berkontribusi, jangan lupa," sambungnya.
Menurut Andono, kualitas udara Jakarta yang memburuk saat ini, tidak terjadi secara tiba-tiba. Oleh karena itu, penyelesaiannya juga harus dilakukan untuk jangka panjang dengan partisipasi seluruh pihak, termasuk masyarakat dan lembaga pemerintah terkait.
Kendaraan bermotor terjebak kemacetan di Jalan KH. Abdullah Syafei, Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Dhemas Reviyanto
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya justru memandang kualitas udara di Jakarta masih dalam tahap sedang. Meski demikian, dia menilai kualitas di Jakarta memang tak sehat bagi kelompok sensitif, yaitu untuk kategori bayi dan warga lanjut usia.
"Jika dibandingkan dengan standar WHO pada angka 25 μg/Nm3, maka kualitas udara Jakarta masuk kategori sedang," sebut Siti dalam pernyataan resmi, Kamis (11/7).
Berdasarkan data Kementerian LKH, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di DKI Jakarta berkisar di level 51-65 atau masuk dalam kategori baik ke sedang. Namun, data tersebut terakhir di-update pada Sabtu (13/7).
Mengacu pada Keputusan Menteri LH No Kep-45/MENLH//10/1997, ada lima level yang menggambarkan kondisi udara di sebuah kota, yaitu 0-51(Baik), 51-101 (Sedang), 101-199 (Tidak Sehat), 200-299 (Sangat Tidak Sehat), 300-300 (Berbahaya).
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Agung Pujo Winarko mengakui kondisi udara Jakarta saat ini memang tidak baik bagi kelompok sensitif, seperti bayi, manula, atau orang yang memiliki penyakit tertentu. Meski demikian, situasi saat ini dinilai tidak berbahaya untuk manusia normal.
Jika dilihat dari data pemantauan, lanjutnya, PM2.5 selama periode Januari-Juni 2019 sebenarnya cukup bagus.
"Menjelang kemarau memang kondisi agak meningkat. Oleh karena itu, kelompok sensitif harus bersiap ekstra. Namun, untuk masyarakat normal biasa saja, enggak begitu rentan," imbuh Agung.
Pengunjung berkumpul di depan Taj Mahal di tengah udara pagi penuh polusi di Agra, India, Sabtu (12/1/2019)./Reuters-Andrew Kelly
Beda Standar
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPPB) Ahmad Safrudhin menyatakan hasil pemantauan kualitas udara oleh Kementerian LHK dan Pemprov DKI Jakarta, terutama yang terkait dengan parameter pencemar PM2.5, relatif sama dengan hasil pemantauan oleh Kedubes AS yang dikompilasi dari dua stasiun pemantau kualitas udara yag ditempatkan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Hasil pemantauan oleh Kedubes AS ini antara lain digunakan untuk memvalidasi hasil model sebaran pencemaran udara (dispersion model of air pollution) yang dikembangkan dengan bantuan satelit. Hasil-hasil pemantauan tersebut menunjukkan adanya paparan PM2.5 di rentang 10-194 µg/m31 dan atau dengan rata- rata tahunan 45.6 µg/m3 (2018).
"Hanya saja, ada perbedaan anatara masyarakat sipil dengan pemerintah dalam menggunakan tolok ukur analisis kualitas udara. Masyarakat sipil menggunakan acuan US AQI [US Air Quality Index], sedangkan pemerintah memaksakan menggunakan ISPU yang sudah out of date," paparnya ketika dikonfirmasi, Minggu (14/7).
Ketika menggunakan acuan US AQI, maka hasil analisis terhadap pencemaran udara untuk parameter PM2.5 dengan konsentrasi 0-10 µg/m3 adalah udara dengan kategori Baik; 10-35 µg/m3 adalah kategori Sedang; 36-55 µg/m3 adalah kategori Tidak Sehat untuk Kalangan Tertentu; 56-65 µg/m3 adalah kategori Tidak Sehat; 66-100 µg/m3 adalah kategori Sangat Tidak Sehat; dan 100 µg/m3 ke atas adalah kategori Berbahaya.
Sementara itu, ketika acuan ISPU yang digunakan, maka hasil analisis akan lebih longgar, di mana konsentrasi PM2.5 di rentang 0-65 µg/m3 adalah kategori Baik; 66-100 µg/m3 adalah kategori Sedang; 101-150 µg/m3 adalah kategori Tidak Sehat; 151-200 µg/m3 adalah kategori Sangat Tidak Sehat; 200 µg/m3 ke atas adalah kategori Berbahaya.
Perbedaan penggunaan tolok ukur yang dijadikan acuan dalam menganalisis kualitas udara menghasilkan penilaian yang berbeda. Ketika masyarakat sipil menyampaikan bahwa kualitas udara kota Jakarta sudah dalam kategori "Tidak Sehat", pemerintah menyatakan masih dalam kategori "Baik" dan atau seburuk-buruknya kategori "Sedang".
Seniman Kong Ning mengenakan kostum yang terbuat dari ratusan terompet plastik dalam upayanya meningkatkan kepedulian masyarakat atas kualitas udara yang rendah di salah satu sudut bersejarah Beijing, China, Senin (7/12/2015)./Reuters-Damir Sagolj
Mengacu pada data US AQI, rata-rata konsentrasi PM2.5 pada Januari-Juni 2019 adalah 37.82 µg/m3 atau Tidak Sehat dengan tertinggi 152 µg/m3.
"Sumber pencemaran udara terbesar dari kendaraan bermotor 47 persen, industri [termasuk pembangkit listrik] 22 persen, road dust 11 persen, domestik 11 persen, pembakaran sampah 5 persen, dan proses konstruksi 4 persen," imbuh Ahmad.
Selain itu, pencemaran udara menyebabkan masyarakat harus membayar biaya medis Rp51,2 triliun pada 2016 dengan sakit/penyakit seperti ISPA, pneumonia, bronchopneumonia, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), asma, bronkitis, jantung koroner, kanker, gangguan fungsi ginjal, penurunan poin IQ pada anak-anak, hipertensi, sakit kepala, iritasi mata, iritasi kulit, serta gangguan psikologis.
Ahmad menilai belum ada usaha serius dari pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta untuk mengendalikan pencemaran udara saat ini.
"Harus segera dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara agar tidak berlanjut malapetaka polusi udara. Misalnya, dengan menghentikan bus-bus kota yang tak terawat dan kendaraan 2 tak dan merazia kendaraan yang tak memenuhi baku mutu emisi," tegasnya.