Celah Bisnis
Pihak FSPTIM menerjemahkan hal ini secara ekstrem bahwa pergub tersebut membuka celah bagi Jakpro untuk menggelar kegiatan bisnis di TIM.
"Kami tolak Jakpro itu nyari duit di sini. Mestinya di depan sana ada ruang, anak-anak latihan tari, musik, teater. Di sini ada ruang ekspresi yang bagus, untuk para seniman dari daerah. Di belakang sana ada pendidikan, IKJ. Itu ideal. Bukan di depan sana ada Bioskop 21, hotel, cafe, borjuis Jakarta nongkrong di sini. Selfie, selfie. Seniman di sini ngopi pakai kopi sachet di warung," tegas Tatan.
"Kami berpatok pada Pergub 63 yang keluar bulan Juli itu. Maknanya itu kapitalisasi di ruang ini. Jakpro tidak boleh nyewain . Saya kira saat DPRD melarang hotel, ternyata direalisasikan. Ternyata, di denahnya ada. Jadi, kami minta cabut pergub, moratorium, duduk bersama. Seperti apa teater yang dibutuhkan, wisma seni yang dibutuhkan, bukan hotel yang kami butuhkan," tambahnya.
Sementara, DKJ mencernanya secara lebih halus. DKJ optimistis perwakilan seniman bisa dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan TIM berkolaborasi dengan Jakpro selaku BUMD.
"Tentu saja pihak Pemprov DKI sebagai yang punya lahan bangunan, dengan pihak Jakpro yang mengeluarkan investasi untuk membangun, pasti butuh pengembalian investasi. Nah, bagaimana model pengelolaan agar terbagi model investor dan seniman, dua-duanya terjaga. Itulah yang sedang kami kawal, agar seniman punya voting rights," jelas Hikmat.
"Soal kegiatan ekonomi di TIM itu dipandang sebagai komersialisasi, saya mau mengingatkan kalau yang mengelola ini BUMD. Jadi bukan privatisasi. Kewajibannya membangun untuk kepentingan publik dan keuntungannya sebagian untuk daerah. Bandingkan dengan kalau diserahkan dengan pihak swasta seutuhnya, mereka pasti cuma ingin untung," tambahnya.