Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berupaya memberikan potongan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 50 persen bagi kalangan usaha terdampak pandemi Covid-19.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Mohammad Tsani Annafari mengatakan opsi itu diambil berdasarkan pada data pengangguran terbuka di wilayah DKI Jakarta yang menembus angka 10,95 persen.
“Tembus dua digit itu cukup mengkhawatirkan kita coba lihat kontribusinya dari sektor mana. Menurut data BPS sektor akomodasi, makanan dan minuman jadi hotel, restoran, ritel, pusat perbelanjaan kita lihat data piutang macetnya cukup besar,” kata Tsani melalui sambungan telepon pada Rabu (25/11/2020).
Di sisi lain, latar pemberian relaksasi PBB-P2 itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan cash flow atau arus kas sektor usaha terdampak menuju libur panjang akhir tahun 2020. Pasalnya, libur panjang mendatang diharapkan menjadi momentum sektor usaha terdampak menarik uang dari masyarakat.
“Katakanlah ini momentum mereka untuk menarik uang dari masyarakat supaya tidak nabung semua. Ini kan lagi nabung semua ini oleh karena itu paket yang kita sedang siapkan ini relaksasi untuk sektor-sektor itu,” kata dia.
Langkah pemberian pengurangan biaya PBB-P2 itu sudah diatur dalam pasal 43 Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah.
Baca Juga
“Gubernur karena jabatannya dapat memberikan keringanan pajak setingi-tingginya 50 persen dari dasar pengenaan pajak atau pokok pajak,” bunyi pasal tersebut.
Dalam perda itu, dia menerangkan, terdapat klausul yang menyatakan pemotongan biaya PBB-P2 itu dapat dilakukan di tengah resesi ekonomi.
“Kemarin itu memang sudah ada kondisi pandemi Covid-19 tetapi karena kondisinya belum ditetapkan resesi maka klausul di Ketentuan Umum Pajak Daerah [KUPD] tidak bisa kita pakai,” ujarnya.
Hanya saja, KUPD ihwal pemotongan pokok pajak itu dapat dilakukan setelah perekonomian nasional dan DKI Jakarta mengalami kontraksi berturut-turut selama triwulan kedua dan ketiga.
“Kita memasuki resesi otomatis pengurangan pajak itu bisa kita gunakan kepada semua pelaku usaha, di sektor yang sudah membayar kita kompensasi di tahun depan yang belum bayar kita kurangkan untuk tahun ini,” ujar Tsani.
Bapenda DKI Jakarta mencatat jumlah penerimaan PBB-P2 hingga tanggal 31 Oktober 2020 sebesar Rp7.346 triliun. Di sisi lain, jumlah tunggakan piutang wajib pajak pembayaran PBB-P2 di wilayah DKI Jakarta sebesar Rp10.838 triliun hingga 31 Oktober 2020.
Rinciannya, kategori piutang lancar sebesar Rp3.341 triliun sedangkan piutang tidak lancar sebesar Rp7.497 triliun.
Tingkat Kepatuhan
Adapun, tingkat kepatuhan pembayaran PBB-P2 di wilayah DKI Jakarta masih berada di angka 55,53 persen yang terdiri dari 55,16 persen wajib pajak kategori Orang Pribadi dan 56,79 persen wajib pajak kategori Badan.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan psikologi pasar domestik cenderung menahan diri untuk melakukan konsumsi yang sifatnya sekunder dan tersier.
Alasannya, sisi permintaan di tengah masyarakat anjlok buntut dari tingkat pengagguran terbuka di DKI Jakarta mencapai hampir 10,95 persen.
“Kondisi demand shock terjadi karena sepanjang Covid-19 ini tingkat pengnagguran menjadi tinggi dan tidak ada jaminan penciptaan lapangan pekerjaan yang dapat menjadi harapan peningkatan pendapatan masyarakat dalam jangka pendek,” ujar Shinta dalam Webinar JIC pada Selasa (24/11/2020).
Menurut Shinta, DKI Jakarta memiliki tantangan pemulihan ekonomi daerah yang berat untuk bangkat dari krisis pandemi Covid-19. Dia beralasan ekonomi DKI Jakarta cenderung terpusat pada sektor jasa yang membutuhkan normalisasi mobilitas konsumen dan pekerja.
“Dan sektor manufaktur yang memiliki pertumbuhan konsumsi yang sangat lambat dan tidak cukup solid dalam jangka pendek,” ucapnya.
Dengan demikian, dia berpendapat, langkah relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi disertai dengan peningkatan investasi di sejumlah sektor ekonomi utama di DKI Jakarta menjadi momen krusial untuk menciptakan lapangan kerja dan normalisasi ekonomi dalam jangka waktu relatif pendek.
“Pada saat yang sama terjadi perubahan tren perekonomian dunia untuk perdagangan dan investasi ini turut mempengaruhi potensi pemulihan ekonomi nasional,” kata dia.
Dampak Covid-19
Pandemi Covid-19 memukul perekonomian global, tak terkecuali Indonesia. Jumlah pengangguran pun naik 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang.
Pada Kamis (5/11/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Agustus melonjak menjadi 7,07 persen dari 5,23 persen pada Agustus 2019.
“Kita bisa lihat dampak pengangguran dari lokasi, bahwa peningkatan pengangguran di kota jauh lebih tinggi dibandingkan desa. Pandemi ini dampaknya jauh tajam untuk di kota,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto.
Jika dilihat dari TPT, DKI Jakarta menjadi wilayah dengan angka tertinggi, yaitu sebesar 10,95 persen.
BPS DKI Jakarta mencatat terjadi penambahan angka pengangguran di wilayah DKI Jakarta sebanyak 251 ribu orang pada bulan Agustus 2020.
Total, berdasarkan data yang dihimpun BPS DKI Jakarta, jumlah penggaguran di Ibu Kota mencapai 572.780 orang.
Anies Baswedan angkat bicara soal jumlah pengangguran di Ibu Kota yang mencapai 527.780 orang selama pandemi Covid-19.
Menurut Anies, fenomena lonjakan angka pengangguran itu disebabkan karena berkurangnya kegiatan usaha di Ibu Kota akibat pandemi Covid-19.
Dia mengakui Pemerintah Provinsi DKI belum berhasil mengendalikan tingkat penularan Covid-19 di tengah masyarakat dengan optimal.
“Karena lapangan kerja tersedia, yang berkurang itu tingkat kegiatannya. Jakarta itu bukan menciptakan lapangan kerja, tetapi mengembalikan kegiatan perekonomian,” kata Anies di gedung DPRD DKI Jakarta pada Jumat (6/11/2020).
Minus 5,28 Persen
Anies menegaskan ketika pandemi Covid-19 di DKI Jakarta terkendali, maka angkatan kerja yang terpaksa menggagur dapat kembali terserap. Di sisi lain, perekonomian pun kembali pulih.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi DKI Jakarta mencatat konsumsi rumah tangga di Ibu Kota pada triwulan III/2020 mengalami kontraksi atau minus 5,28 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019 (year-on-year/yoy).
Direktur Kantor Perwakilan BI Provinsi DKI Jakarta Luctor E Tapiheru mengatakan kontraksi itu lebih dalam jika dibandikan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat minus 5,23 persen (yoy).
“Penurunan pengeluaran masyarakat terutama terjadi pada konsumsi terkait pakaian, makanan, perabot rumah tangga dan pembelian barang pribadi, yang menunjukkan bahwa masyarakat masih selektif dalam berbelanja,” tutur Luctor melalui keterangan tertulis pada Jumat (6/11/2020).
Seiring konsumsi masyarakat yang menurun, dia mengatakan, lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makanan minuman turut mengalami kontraksi sebesar minus 18,52 persen secara tahunan.
Di sisi lain, industri pengolahan dan pengadaan listrik dan gas mengalami kontraksi masing-masing minus 12,03 persen dan 10,60 persen.