Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setumpuk Masalah di Balik Divestasi Jakarta Marga Jaya ke Tangan Grup Astra

BPK menemukan kejanggalan dalam divestasi saham PT Jakarta Marga Jaya (JMJ) cucu perusahaan Jakpro ke konglomerasi Astra.
Anak usaha Jakpro menjual sahamnya kepada Astra Infra, lini bisnis infrastruktur Astra International./Dok. Astra Infra
Anak usaha Jakpro menjual sahamnya kepada Astra Infra, lini bisnis infrastruktur Astra International./Dok. Astra Infra

Bisnis.com, JAKARTA -- Proses divestasi saham PT Jakarta Marga Jaya (JMJ) ke PT Astra Tol Nusantara diduga sarat masalah. Ada indikasi kejanggalan di balik pelepasan 100 saham milik Grup Jakpro ke pangkuan konglomerasi Astra.

PT Jakarta Marga Jaya (JMJ) adalah anak usaha dari PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Mayoritas saham PT JMJ semula dikuasai PT Jakarta Propertindo melalui PT Jaya Infrastruktur Propertindo (JIP) sebanyak 51 persen.

Sementara Pembangunan Jaya Group menguasai saham PT JMJ sebanyak 45 persen.

Namun pada tahun 2020, status kepemilikan saham PT JMJ berubah. PT Astra Tol Nusantara, entitas anak usaha konglomerasi Astra Internasional, mengakuisisi 100 persen saham PT JMJ. Perubahan status kepemilikan tersebut praktis membuat Jakpro kehilangan kendali pengelolaan Jalan Tol Ulujami-Kebon Jeruk.

Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BP-BUMD) DKI Jakarta, beberapa hari setelah divestasi, menyatakan bahwa pelepasan aset atas Jalan Tol Lingkar Jakarta itu diambil untuk menjaga arus kas induk perusahaan Jakpro.

“Jakpro ada penugasan-penugasan dari mana penugasan itu tidak semua dibiayai oleh BUMD dari APBD kan begitu, dibiayai dari kasnya sendiri, tetapi dari kasnya ada kebutuhan karena terdampak pandemi dia lepas aset itu," demikian penjelasan BP BUMD DKI dikutip dari arsip pemberitaan Bisnis.com (26/11/2020).

Jakpro adalah salah satu BUMD milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sebagai BUMD, Jakpro kerap mendapat penugasan dari Pemprov DKI Jakarta. Salah satu proyek paling prestisius selama kurun waktu 2020-2022 adalah penyelenggaran Formula E Jakarta.

Adapun PT JMJ merupakan perusahaan patungan Jakpro melalui entitas anak usahanya PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) dengan Pembangunan Jaya Group. Porsi saham Jakpro lewat PT JIP mencapai 51 persen. Sedangkan sisanya Pembangunan Jaya Group sebanyak 49 persen.

Tahun 2020, semua saham JMJ diakuisisi oleh Astra Toll. Astra Toll berhasil menguasai seluruh saham PT JMJ setelah mengajukan penawaran tertinggi senilai Rp658,8 miliar.

Akuisisi saham PT JMJ oleh Astra Toll juga menjadi babak baru pengelolaan JORR W2 Ulujami-Kebon Jeruk. Pasalnya, PT JMJ adalah pemilik 35 saham PT Marga Lingkar Jakarta (PT MLJ) dengan konsesi 30 tahun. PT MLJ mengelola Jalan Tol JORR W2 (Ulujami - Kebon Jeruk).

Pada awalnya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk atau JSMR menguasai 65 persen saham PT MLJ. Sementara Astra Toll sebesar 35 persen lewat PT JMJ. Namun pada tahun 2021, JSMR menjual 14 persen sahamnya ke PT JMJ.

Alhasil porsi saham JSMR di PT MLJ melorot menjadi 51 persen. Sedangkan kepemilikan saham PT JMJ di PT MLJ naik jadi 49 persen.

Divestasi Bermasalah

Menariknya, proses divestasi saham PT JMJ ke Astra Tol, entitas anak usaha ASII, diduga sarat dengan masalah.  

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan atas Aktivitas Operasional dan Penugasan Tahun Buku  2018 - Semester I 2020 pada PT Jakarta Propertindo dan Anak Perusahaan serta Instansi Terkait Lainnya di Jakarta mengungkap adanya kejanggalan dalam proses divestasi saham PT JMJ.

Temuan kejanggalan itu mulai dari metode penghitungan nilai saham, kesahihan data yang digunakan oleh kantor jasa penilai publik (KJPP), hingga indikasi konflik kepentingan dari Dirut Jakpro dalam proses divestasi saham JMJ.

Namun demikian, salah satu poin temuan BPK yang paling mencolok adalah nilai jual saham yang tidak wajar. Lembaga auditor negara bahkan memaparkan akuisisi saham PT JMJ oleh Astra Tol terindikasi mengakibatkan kekurangan pendapatan hingga ratusan miliar.

Potensi kekurangan pendapatan itu muncul lantaran adanya cacat penghitungan sejak awal. Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MPR (ditunjuk Mandiri Sekuritas), menurut BPK, dinilai tidak akurat dalam menghitung nilai pasar saham PT JMJ. 

BPK menyebut bahwa penghitungan nilai pasar ekuitas PT JMJ metode penilaian yang menggunakan judgment tanpa memperlihatkan standar yang digunakan.

Salah satu contoh KJPP MPR, lanjut BPK, menerbitkan ringkasan penilaian bisnis (ekuitas) PT JMJ pada tanggal 16 Oktober 2020 dengan Opini Nilai Pasar 100 persen per 31 Desember 2019 senilai Rp642,1 miliar.

Namun demikian, dalam proses penilaian PT JMJ, pihak kantor jasa penilaian hanya menggunakan data pembanding dari Bloomberg, data keuangan PT JPJ dan PT MLJ, maupun data dari Mandiri Sekuritas.

Selain itu, pihak KJPP MPR menyatakan dalam laporan penilaian, data traffic didapat dari pihak Lembaga Teknologi atau Lemtek UI. Padahal, setelah ditelisik lebih lanjut diketahui lebih bahwa data traffic tersebut tidak berasal dari pihak Lemtek UI melainkan data dari UP2M Teknik Sipil UI.

Mandiri Sekuritas adalah pihak yang ditunjuk oleh Jakpro untuk membantu proses divestasi saham PT JMJ. Peran Mandiri Sekuritas cukup signifikan. Entitas anak usaha PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau BMRI tersebut adalah pihak yang menunjuk langsung pihak KJPP MPR.

Sayangnya pihak Mandiri Sekuritas enggan menanggapi pertanyaan Bisnis yang disampaikan melalui pesan tertulis. Pihak Mandiri Sekuritas sempat menjanjikan jawaban melalui surat elektronik. Namun demikian belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.

Nilai Tidak Wajar

BPK menyebutkan penjualan saham PT JMJ berpotensi mengakibatkan kekurangan pendapatan antara Rp329,1 miliar hingga Rp400-an miliar.

Kekurangan pendapatan itu terjadi karena penghitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) terhadap nilai pasar PT JMJ sebesar Rp642,1 miliar tidak wajar.

Menurut BPK, nilai pasar PT JMJ jika dihitung ulang dengan menggunakan tarif pajak yang sesuai dan data traffic UP2M, serta DCF 80 persen dan P/BV 20 persen maka nilai Pasar PT JMJ seharusnya Rp1,3 triliun atau hampir dua kali lipatnya dari penghitungan yang dilakukan oleh KJPPR.

DCF atau dicounted cash flow atau arus kas terdiskon menurut beberapa sumber adalah metode menghitung valuasi saham menggunakan Future Free Cash Flow (FFCF) dan diskon Weighted Average Cost of Capital (WACC) untuk mendapatkan nilai di masa depan yang potensial dalam melaksanakan investasi.

Sementara P/BV atau Price to Book Value adalah rasio yang digunakan untuk membandingkan harga saham dengan nilai buku perusahaan.

Artinya, jika JIP (anak usaha Jakpro) memiliki 51 persen saham, maka nilai saham PT JMJ yakni 51 persen seharusnya senilai Rp665 miliar. Namun setelah divestasi, PT JIP hanya memperoleh pendapatan senilai Rp335,9 miliar atau ada selisih Rp329,1 miliar.

Nilai selisih tersebut lebih besar jika menggunakan skema DCF senilai 100 persen. Pasalnya dengan skema tersebut nilai pasar PT JMJ adalah senilai Rp1,5 triliun. Apabila nilai saham JIP di JMJ senilai 51 persen, nilai pasar PT JMJ (Jakpro) seharusnya Rp784,8 miliar.

Namun karena terjadi indikasi kesalahan mekanisme penghitungan sejak awal, maka ada potensi kekurangan pendapatan dari proses divestasi saham PT JMJ senilai Rp458,8 miliar.

BPK telah meminta pihak Pemprov DKI supaya melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas penjualan saham PT JMJ.

Corporate Communication Jakpro Melisa tidak merespons pertanyaan Bisnis soal temuan BPK. Kendati demikian, pihak Jakpro sempat menjanjikan jawaban tertulis, meskipun hingga berita ini diterbitkan, jawaban tersebut tak kunjung datang.

Sementara itu, Tim Corporte Communication Astra Infra juga tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Bisnis terkait temuan BPK dalam akuisisi saham PT JMJ. 

Kinerja Keuangan Jakpro

Jakpro kerap memperoleh penugasan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah proyek penugasan yang diemban BUMD tersebut antara lain proyek Jakarta International Stadium (JIS) hingga Formula E Jakarta alias Jakarta E Prix.

Namun demikian, seperti penuturan pihak Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BP-BUMD) DKI Jakarta tahun 2020 lalu, karena tidak semua proyek didanai oleh APBD secara langsung, mau tidak mau pembiayaan atau pendanaan proyek tersebut berasal dari kantong perseroan.

Pelepasan saham PT JMJ ke Astra Toll adalah salah satu strategi untuk menjaga arus kas Jakpro supaya perseroan bisa menjalankan penugasan-penugasan tersebut. Selain itu, langkah itu dilakukan karena kondisi kas perseoran yang sedang gonjang ganjing akibat dihantam pandemi Covid-19.

Sekadar catatan, dalam laporan keuangan Jakpro tahun 2020, laba usaha Jakpro tiga tahun terakhir turun sejak tahun 2018. Pada tahun 2017 dan 2018, misalnya, Jakpro masih memperoleh laba usaha masing-masing senilai Rp233,2 miliar dan Rp244,1 miliar.

Namun demikian pada tahun 2019 laba usaha JakPro terkontraksi hingga berada di level minus Rp76,2 miliar. Pada tahun 2020, JakPro bahkan mengalami kerugian hingga Rp240,8 miliar.

Opsi menjual saham PT JMJ kemudian ditempuh dan dieksekusi pada tahun 2020. Perseoran beralasan bahwa penjualan saham PT JMJ dilakukan karena jalan tol tidak termasuk bisnis inti perusahaan.

Nilai saham yang dilepas JakPro melalui Jakarta Infrastruktur Propertindo ke Astra Toll pada waktu itu mencapai 51 persen saham atau 125.687.844 lembar senilai Rp322,2 miliar.

Sementara itu, laporan keuangan PT Jakarta Infrastruktur Propertindo tahun 2020 memaparkan bahwa harga pelepasan saham PT JMJ pada waktu itu senilai Rp335,58 miliar. Dari harga pelepasan saham tersebut, perseoran mencatat memperoleh laba atas pelepasan bisnis senilai Rp232,8 miliar.

PT JIP juga menyatakan bahwa penjualan PT JMJ berhasil mengerek kinerja pendapatan usaha perseroan hingga 463,1 persen atau senilai Rp119,5 miliar. Tahun 2019, pendapatan usaha PT JIP hanya 21,22 milar.

Riyadi, mantan Sekretaris Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BP-BUMD) DKI Jakarta yang mengetahui proses jalannya divestasi tersebut menolak untuk memberikan komentar.

"Saya sudah pensiun sebagai PNS/ASN DKI Jakarta sejak tanggal 1 Maret 2022. Jadi secara etika saya sudah tidak bisa membuat pernyataan terkait BUMD DKI. Lebih baik ditanyakan ke PT Jakpro-nya langsung."

Sementara itu, Budi Purnama selaku Plt Sekretaris BP BUMD DKI, memberikan jawaban sebaliknya. Dia mengatakan bahwa uang hasil penjualan PT JMJ tidak serta merta lari ke Jakpro.

"Seperti yang disampaikan Pak Riyadi, untuk menjaga cashflow, kalau ditugaskan kita sudah siap running. Alhamdulillah, uangnya belum digunakan, kalau digunakan untuk JIP kecuali Jakpro mau pinjam," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper