Bisnis.com, JAKARTA - Ketimpangan yang makin melebar dapat menjadi hambatan bagi Jakarta dalam meraih keberhasilan sebagai representasi sukses Indonesia. Di tengah pulihnya ekonomi dan turunnya kemiskinan, tingkat ketimpangan justru meningkat.
Angka ketimpangan pada Maret 2023 mencapai 0,431, mengalami kenaikan 0,019 poin jika dibandingkan dengan kondisi September 2022. Pada perio-de yang sama, distribusi penduduk pada kelompok pengeluaran 40% terbawah turun 0,6 poin menjadi 16,39%.
Tingginya ketimpangan kesejahteraan juga terlihat di antara beberapa wilayah di DKI Jakarta. Pada 2022, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan mencatat angka ketimpangan tertinggi masing-masing sebesar 0,543 dan 0,422.
Kondisi ini mencermin-kan tantangan nyata dalam upaya mengurangi kesenjang-an ekonomi di tingkat lokal, yang dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kondisi ketimpangan Jakarta berkaitan erat dengan tingkat kemiskinannya. Angka kemiskinan Jakarta belum sepenuhnya pulih ke level sebelum pandemi Covid-19. Bahkan, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan justru mengalami pening-katan.
Dalam kurun waktu September 2022 hingga Maret 2023, kedalaman kemiskinan naik 0,013 poin. Sementara, keparahan kemiskinan naik 0,017 poin, mencerminkan tingginya ketimpangan pengeluaran penduduk miskin.
Baca Juga
Karakteristik kemiskinan di Jakarta berbeda dengan daerah lain karena dipengaruhi ber-bagai faktor seperti pendatang musiman yang besar, serta masih banyak pekerja terserap di lapangan kerja informal, tingginya tingkat pengang-guran terbuka, menunjukkan kompleksitas masalah ketenagakerjaan di Ibu Kota.
Faktor lain yang mem-perparah kondisi ini adalah dampak lanjutan dari pande-mi Covid-19. Meski pandemi telah berakhir, penyerapan tenaga kerja masih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran ter-buka DKI Jakarta menca-pai 6,53% pada Agustus 2023, naik dari 5,15% pada Februari 2020.
Hal ini menandakan bahwa kondisi ketenagakerjaan masih belum pulih sepenuhnya ke level sebelum pandemi. Tingkat pengangguran ter-buka antarwilayah di DKI Jakarta pun masih tinggi. Pada 2022, angka tersebut bahkan melebihi 8% di beberapa wilayah seperti Kepulauan Seribu (8,47%), Jakarta Timur (8,39%), dan Jakarta Utara (8,04%).
Menurunkan angka peng-angguran terbuka menjadi tantangan kompleks dan upaya serius.Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengambil langkah strategis dengan memanfaatkan strategi fis-kal sebagai instrumen kunci untuk merespons tantangan ketimpangan dengan membe-rikan subsidi pada sektor-sektor kunci, seperti pendidikan, kesehatan, sosial, pangan, air bersih, tangki septik, rusuna-wa, dan transportasi.
Langkah ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), terutama Tujuan 10, dengan fokus pada indikator 10.4.1. Selama 5 tahun terakhir, ang-garan belanja daerah untuk fungsi perlindungan sosial di DKI Jakarta rata-rata mencapai Rp10,67 triliun, yang menca-kup komponen belanja bantuan sosial dan belanja subsidi. Pada 2023, anggaran bantu-an sosial DKI Jakarta menca-pai Rp4,56 triliun, sementara itu belanja subsidi mencapai Rp6,02 triliun.
Kedua komponen ini mencapai 14,18% dari total anggaran belanja daerah senilai Rp74,61 triliun. Hanya saja, upaya itu belum menunjukkan hasil optimal, terbukti dari meningkatnya tingkat ketimpangan. Kebijakan fiskal, baik itu pajak maupun belan-ja bantuan sosial dan subsidi, akan memberikan dampak optimal jika diukur secara akurat dan tepat sasaran.
Perumusan kebijakan terkait ketimpangan memerlukan pemetaan yang akurat dan terukur. Pemanfaatan teknologi, seperti sistem informasi Commitment to Equity (CEQ) Tools, dapat menjadi instrumen penting dalam evaluasi dan perenca-naan kebijakan pemerintah.
Melalui pendekatan ini, pemerintah dapat lebih efektif menetapkan kebijakan yang berdampak terhadap masalah ketidaksetaraan ekonomi, memastikan langkah-langkah yang diambil sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.Perlu diperhatikan bahwa kebijakan pemerintah belum inklusif atau tidak mencakup warga rentan yang paling membutuhkan bantuan.
Contohnya, kelompok paling miskin mungkin sudah memiliki akses pada program bantuan sosial, tetapi kelas pekerja umumnya belum mendapatkan program yang dapat secara efektif meningkatkan pendapatan.Oleh karenanya, diper-lukan adanya evaluasi dan penyesuaian kebijakan untuk memastikan bahwa bantuan tersebut mencapai semua lapisan masyarakat yang membutuhkan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu mengem-bangkan metode validasi dan pemutakhiran data yang lebih sederhana dan ringkas, namun tetap memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Hal ini penting mengingat tingginya mobilitas penduduk Jakarta.
Terlebih, proses birokrasi bertingkat dan jangka pemutakhiran yang lama dapat menjadi celah lemahnya akurasi data.Pada akhirnya, ketidaksetaraan ekonomi di Jakarta harus menjadi perhatian utama, mengingat ibu kota negara merupakan representasi terde-pan dari wajah sebuah negara.
Kendati status Ibu Kota Negara akan segera berpindah, Jakarta akan tetap berfungsi sebagai pusat bisnis dan ekonomi. Dengan mengatasi masalah ketimpangan, Jakarta akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kesukses-an Indonesia