Bisnis.com, JAKARTA - Selama desa/kota asal perantau tidak menyediakan lapangan kerja yang memadai, memberikan pendapatan yang menarik, serta menawarkan masa depan yang lebih cerah, fenomena urbanisasi ke Jakarta akan terus berlanjut.
Bagi orang dari daerah, Jakarta masih senantiasa memikat dengan janji-janji kehidupan yang lebih layak. Daya pikat keuntungan ekonomi tidak menyurutkan orang untuk tetap menguji peruntungannya di ibu kota.
Selain ekonomi, faktor sosial juga memengaruhi orang daerah datang ke ibu kota karena ikut keluarga atau orang terdekat.
Sementara bagi pemerintah kota tujuan perantau tidak menetapkan persyaratan ketat bagi pendatang, seperti bekal keterampilan/keahlian, dana cukup, tempat tinggal sementara yang layak, kepastian tempat kerja/sekolah.
Kota tujuan urbanisasi akan menghadapi persoalan permukiman kumuh menjamur, angka kriminalitas meningkat, dan penyandang masalah sosial bertambah. Sampai kapan? Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, Jakarta, tempat konsentrasi penduduk dan ekonomi masih terpusat, akan tetap menjadi tujuan utama para perantau meski dibayang-bayangi permasalahan kemacetan dan banjir, serta tak lagi menjadi ibu kota negara.
Baca Juga
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, total PDRB DKI Jakarta mencapai Rp3.442,98 triliun (ADHB) dan Rp2.050,47 (ADHK), menunjukkan dominasi ekonomi yang kuat.sekaligus yang tertinggi di Indonesia. Jika dihitung distribusinya terhadap PDRB nasional, Jakarta menyumbang 16,77%.
Disparitas desa-kota, kota kecil-kota besar/metropolitan, merupakan pekerjaan rumah yang harus dibenahi bersama antarpemerintah daerah asal pendatang dan kota tujuan.
Semakin lebar disparitas, semakin melebar polarisasi antarwilayah, semakin meluber perkembangan kota tujuan, sementara desa/kota kecil terus mengalami marginalisasi, maka arus urbanisasi akan terus mengalir ke Jakarta.
Kedua, urbanisasi membawa dampak perubahan karakter desa dan kabupaten yang mengota. Desa, ibu kota kabupaten dan kawasan strategis kabupaten mulai memadat oleh hunian tapak yang boros lahan, melahap dan mengubah peruntukan lahan persawahan menjadi perumahan/perkantoran/pertokoan/industri seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia, tingkat urbanisasi juga terus bertambah dari 8,6 juta jiwa (15%, 1950), 55 juta jiwa (30%, 1990), 151 juta jiwa (56%, 2020), hingga diprediksi mencapai 233 juta jiwa (73%, 2045) (BPS, 2020; Bappenas, 2020).
Jumlah total penduduk Indonesia pada 2020 telah mencapai 275,5 juta jiwa dengan laju pertambahan 1,5% per tahun selama satu dasawarsa (2010—2020).
Jumlah penduduk perkotaan telah mencapai 155,5 juta jiwa atau 56,4%, meningkat dari 49,8% pada tahun 2010, dengan laju pertambahan 2,77% per tahun.
Laju ini telah melambat dari 4,40% pada kurun tahun 1990—2000 dan 3,33% pada 2000—2010. Meski demikian, apabila dilihat konsentrasinya, penduduk perkotaan ini 65,8% berada di Jawa dengan laju 2,22% dan 34,2% berada di luar Jawa dengan laju 3,32% per tahun.
Ketiga, Pulau Jawa akan menjadi pulau kota, di mana kabupaten yang menempel kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya), kabupaten yang berada di sepanjang koridor jalan tol Trans Jawa dan jalan Pantai Selatan (Pansela) akan menjadi kota atau berkarakter wilayah perkotaan.
Selain itu, Pulau Jawa juga mengalami pertumbuhan pesat pada wilayah pinggiran kota besar, seperti Jakarta (Jabodetabek), Surabaya (Gerbangkertasusila), Bandung (Cekungan Bandung Raya), Semarang (Kedungsepur), dan Yogyakarta (Yogyakarta, Sleman, Klaten, Kulonprogo).
Pemerintah daerah harus melakukan strategi efisiensi penggunaan sumber daya, terutama lahan (karena ketersediaan terbatas dan tidak bertambah), ketahanan pangan (penyusutan persawahan), pemanfaatan energi terbarukan, dan menjamin ketersediaan air minum/bersih seiring pertambahan jumlah penduduk kota.
Mereka harus membangun infrastruktur dasar kota, jaringan utilitas terpadu, transportasi publik, teknologi informasi dan komunikasi, sarana prasarana hunian (vertikal), fasilitas publik, serta layanan kependudukan-kesehatan-pendidikan setara kota (modern).
Keempat, untuk mengurangi disparitas antarwilayah, pemerintah daerah harus mengembangkan jejaring perekonomian melalui kolaborasi antardesa, desa-kota, dan kota kecil-kota besar/metropolitan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara berjenjang. Setiap wilayah desa/kota dapat mengembangkan diferensiasi fokus pembangunan daerah sesuai potensi yang dimiliki semisal pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata alam, kampung tradisional/pusaka/bersejarah/kreatif digital.
Selain itu, desa dan kota-kota kecil dilengkapi dengan fasilitas yang dibutuhkan warga, agar desa dan kota kecil juga bisa berkembang maju.
Program revitalisasi desa, kota kecil, dan pinggiran kota besar/metropolitan dengan memperbanyak lapangan pekerjaan, menambah infrastruktur dasar kota, serta menyediakan hunian layak. Keberhasilan memajukan desa dan kota kecil akan menjadi kunci untuk mendistribusikan urbanisasi secara berkelanjutan keluar kota besar/metropolitan.