JAKARTA: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu meninjau kembali pola pemanfaatan dana penguatan kelurahan dan kecamatan masing-masing sebesar Rp3 miliar-Rp3,5 miliar per tahun, karena pengalokasiannya banyak yang tidak transparan dan menyimpang dari sasaran.
Anggota Komisi A DPPRD DKI Jakarta Taufiqurrahman (F-PD) mengatakan alokasi dana untuk memperpendek rantai birokrasi yang berkaitan dengan masalah keamanan dan ketertiban, serta kesehatan dan kebersihan di tingkat kelurahan dan kecamatan itu diduga hanya termanfaatkan sekitar 30%.
“Di lapangan kami menemukan dana penguatan kelurahan dan kecamatan masing-masing Rp3 miliar-Rp3,5 miliar itu hanya terpakai sekitar 30% yang sesuai sasaran. Selebihnya tidak jelas disalurkan ke mana, karena tidak ada laporan yang transparan,” katanya di Jakarta hari ini.
Menurutnya, pihak kelurahan maupun kecamatan hanya transparan pada dana program pemberdayaan masyarakat kelurahan (PPMK) sebesar Rp1 miliar per kelurahan untuk biaya operasional dewan kelurahan, lembaga musyawarah kelurahan, rukun warga dan rukun tetangga.
“Pihak kelurahan dan kecamatan terkesan menutup-nutupi dana penguatan yang mencapai Rp3 miliar-Rp3,5 miliar, kemudian mengalihkan perhatian warga dengan mengekspose dana progam pemberdayaan masyarakat kelurahan yang Rp1 miliar. Tentu yang demikian ini tidak benar,” tegasnya.
Dia mengatakan, seharusnya pihak kelurahan maupun kecamatan mensosialisasikan kepada warganya mengenai dana penguatan kelurahan dan pemanfaatannya, bukan sebaliknya yang cenderung menutup-nutupi dan digunakan secara indifidu para oknum aparat pemerintah itu.
Padahal, lanjutnya, ada lembaga yang seharusnya mengawasi penggunaan dana yang bersumber dari APBD DKI maupun bantuan luar negeri, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan serta Inspektorat Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Namun, lanjutnya, lembaga pengawas itu terkesan lemah, kerena sesungguhnya merupakan satu tubuh rezim birokrasi yang korup. Untuk itu, imbuh dia, warga harus bergerak melakukan pengawasan karena sesungguhnya mereka punya hak yang dapat diakses secara bersama.
Sementara itu eksekutif Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan mengatakan peluang terjadinya korupsi anggaran daerah antara lain karena tidak dilakukan oleh forum perencanaan yang transparan mulai dari tingkat kelurahan hingga kotamadya.
Selain itu, lanjutnya, fungsi pengawasan pada forum yang lemah, kemudian ditambah dengan pengelolaan anggaran yang tidak transparan, serta kekuasaan yang berlebihan dan pengelolaan sumber daya dikuasai oleh satu pihak atau kelompok tertentu dan pengelolaannya tidak melibatkan rakyat.
“Adapun peluang korupsi pada penyusunan anggaran antara lain ketika penyusunan anggaran dilakukan tertutup oleh eksekutif dan tidak ada pengawasan, serta perkiraan pendapatan diperkecil dan belanjanya diperbesar, serta rancangan APBD tidak disosialiasaikan,” ujarnya.
Abdullah mengatakan rakyat mempunyai hak untuk dilibatkan, minimal memperoleh penjelasan melalui kegiatan sosialisai, terkait penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang realisasinya memang dibuat untuk kepentingan rakyat. (sut)