SENIN, 9 Desember 2013 akan menjadi hari yang tak bisa saya lupakan. Saya dan kolega kerja, Fitri Sartina Dewi—kerap dipanggil Ina—, tengah menuju stasiun Pondok Ranji, Ciputat untuk menuju kantor di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat.
Waktu menunjukkan 10.45 WIB. Kami memesan tiket Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line jurusan Pondok Ranji-Tanah Abang untuk pukul 11.05 WIB. Selama menunggu kereta, kami berbincang, dengan candaan, tentang pelbagai hal. Dari pekerjaan, film dan lagu Korea Selatan hingga urusan asmara.
Siang itu cukup terik. Kami pun mencari tempat berteduh sembari menunggu kereta datang dari arah barat. Kami berjalan menuju timur agar mendapat akses yang mudah ke gerbong khusus perempuan. Ini adalah gerbong yang berada tepat di belakang gerbong masinis. Kereta pun datang.
Para perempuan berebut naik ke gerbong satu, tak terkecuali saya dan Ina. Sesampainya di dalam, tak ada satu pun kursi yang kosong. Beberapa kursi telah diduduki oleh perempuan usia lanjut atau separuh baya yang hendak berangkat kerja. Ada pula yang membawa anak.
Kereta berhenti di stasiun Pondok Ranji sekitar 5 menit untuk menaikkan penumpang. Pintu gerbong mulai ditutup rapat beberapa menit setelah itu. Saya dan Ina belum sempat berbincang banyak.
Siang itu, entah mengapa, saya merasa haus lebih dari biasanya. Saya mengambil botol air mineral di dalam tas dan mulai menenggaknya. Tenggakan pertama terasa amat segar. Ketika tenggakan kedua, kereta terguncang tiba-tiba dan air tenggakan saya tumpah.
Goncangan keras itu membuat kereta oleng dan miring ke kanan. Air minum di genggaman saya lepas begitu saja entah kemana. Seluruh penumpang saling tumpah tindih. Begitu pula saya dan Ina. Saat itu, saya tidak paham dengan apa yang terjadi karena kejadian itu terjadi begitu cepat, tak ada dugaan.
Posisi saya tidur menelungkup sambil memeluk tas amat erat. Di sisi lain, saya melihat Ina berpegangan kencang pada sebuah tiang di dalam gerbong.
Tidak ada lagi yang saya pikirkan, saya hanya mendengar teriakan histeris dari para penumpang. “Allahu Akbar.” “Astaghfirullah.” “Kebakaran. Ada api!”
BERTERIAK HISTERIS
Ketika saya melihat ke atas dan ke samping bagian masinis, api mulai berkobar. Terlihat cahaya disertai dengan asap hitam yang begitu pekat memasuki gerbong. Lalu, lampu pun mati. Penumpang berteriak semakin histeris. Mereka juga menendang kesana kemari mencari jalan keluar.
Ina, yang posisinya ada di atas pintu keluar mulai berdiri dan berusaha mendobrak pintu dengan kaki telanjangnya. Seorang perempuan setengah baya turut membantu. Tidak berhasil. Suasana di dalam gerbong semakin kacau. Hawa panas mulai terasa di dalam gerbong. Alas tempat saya tidur dan tertindih pun sangat panas. Macam dalam bejana yang digodok dengan api.
Semua penumpang menangis. Berteriak. Ada yang mendengungkan kalimat syahadat dan takbir. Saya diam, mencoba untuk menghemat tenaga. Saya sudah susah untuk bernafas mengingat saya memiliki sejarah asma. Penumpang lain mulai membabi buta untuk berusaha keluar dengan cara apa pun.
Mereka ingin mendapat udara segar dan keluar dari gerbong. Alat untuk memecah kaca pun sama sekali tidak ditemukan, tidak ada palu, atau alat tajam lainnya.
Selama kurang lebih 10 menit saya dan seluruh penumpang terperangkap di dalam. Asap yang semakin pekat. Api semakin berkobar. Panas yang semakin menyengat. Sebagian mulai pelan. Saya kira, sebagian penumpang mulai mengalami sesak nafas.
Hanya beberapa menit setelah itu, terlihat cahaya terang di arah kanan. Semua penumpang mulai berhamburan menuju ke satu titik tersebut. Ini adalah jendela yang telah dipecahkan para penumpang. Kekacauan yang lebih besar pun kembali terjadi.
LEDAKAN KERAS
Saya melihat ke arah kanan, Ina sudah tidak tampak. Saya pikir dia sudah berhasil keluar dari gerbong. Hal itu memacu saya untuk juga keluar. Dengan nafas yang tersengal-sengal, tubuh gemetar dan telapak kaki yang amat perih, saya menerobos puluhan penumpang lainnya.
Saya berhasil melompat dari jendela dengan bantuan warga. Saya juga melihat wajah Ina yang hitam akibat asap. Kami berpelukan erat. Dia telah menunggu saya tepat di depan jendela.
Tak banyak kata yang diungkapkan, kami berlari menuju taman Bintaro yang letaknya berdekatan dengan Mesjid At-Taqwa. Kami menangis kencang. Tiba-tiba ada pria yang berteriak. “Awas, kereta mau meledak. Lari...lari...pindah!”
Saya, Ina dan beberapa penumpang menangis sambil lari menuju mesjid. Benar saja, terdengar suara ledakan dari gerbong khusus perempuan. Belakangan saya mulai sadar bahwa tabrakan itu dipacu akibat tabrakan dengan truk pengakut premium. Evakuasi mulai dilakukan di mesjid. Suara tangis semakin memjadi-jadi.
Kami berusaha menghubungi keluarga masing-masing. Beberapa relawan memberi kami air putih dan air teh. Warga juga tanggap membantu korban. Tak lama setelah korban dievakuasi, mobil pemadaman kebakaran datang untuk memadamkan api yang semakin membesar. Selain itu, mobil ambulans juga berdatangan.
Para korban dengan luka bakar berat mulai digotong dengan tandu. Kulit melepuh, tanpa busana adalah pemandangan yang kami lihat di sekitar mesjid. Kepolisian pun dibantu warga sekitar di lokasi kejadian.
Dan saya, serta tentu saja Ina, meyakini bahwa Senin, 9 Desember 2013, akan menjadi hari yang tak terlupakan dalam memori kami berdua. Tidak saja untuk hari ini. Tapi juga di masa mendatang. (Deliana Pradhita Sari & Fitri Sartina Dewi)