Bisnis.com, JAKARTA - Begitu kalimat pertama yang terucap dari Pengamat Sosial dan Budaya Institut Teknologi Bandung Acep Iwan Saidi.
Sebagai mitos, kebenaran kisah valentine tidak perlu klarifikasi ilmiah baik benar atau tidak, yang terpenting adalah orang meyakini atau tidak.
Valentine sebagai hari kasih sayang yang dirayakan tiap tanggal 14 Februari, rujukannya tidak pernah jelas, tetapi orang di seluruh dunia meyakini dan kemudian merayakannya. Itulah mitos.
Kekuatan mitos itu sendiri terletak pada model artikulasinya. Semakin sering dia diartikulasikan dengan kualitas artikulasi yang baik, maka mitos akan semakin populer dan semakin kukuh sebagai mitos. Para pemilik modal selalu awas menyorot hal ini. Itu sebabnya, merekalah yang suka me-reka ulang mitos, mengubah, dan melipat gandakan maknanya untuk kepentingan modal itu sendiri.
Acep memberi contoh bagaimana Coca Cola pada 1940-an memainkan mitos Santa Clause hingga popularitas kisah ini bisa mengalahkan popularitas Natal.
Hal serupa terjadi pada valentine, sejak abad 19 tepatnya pada 1847, Amerika dan Brittania Raya telah mengadopsi mitos yang dideklarasikan oleh Pope Gelasius untuk menghormati St. Valentine pada abad ke-400 ini ke dalam pusaran modal. Pusaran ini dimulai dari pencetakan bermilyar-milyar kartu ucapan, coklat, bunga, berlian, dan seterusnya.
Gerakan tersebut lantas diikuti masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kini di Indonesia saja, berbagai paket perayaan ditawarkan oleh berbagai pihak, mulai dari yang sederhana hingga yang paling mewah.
Di beberapa hotel berbintang bahkan ditawarkan paket yang membawa pembelinya masuk ke dalam imajinasi sebagai dewa dan dewi cinta. Biaya ratusan bahkan milyaran rupiah bisa keluar tanpa terasa dalam sehari-semalam.
“Sejak 1980-an, perayaan hari valentine ini telah mengubah keinginan (hasrat) menjadi seolah-olah kebutuhan terutama parta remaja dan keluarga menengah-ke atas. Semakin meriah dan mewah perayaannya seolah semakin bermakna kasih sayang itu,” katanya kepada Bisnis.
Kasih sayang pun bergerak pada dunia material. Semakin mahal nilai benda dan semakin tinggi nilai tandanya maka semakin dalam pula nilai cinta dan kasih sayangnya.
“Kini harga manusia, harga cinta dan kasih sayang bertransformasi menjadi harga benda. Ini yang disebut Karl Marx sebagai mistifikasi benda-benda. Benda-benda inilah yang melenyapkan subjek kemanusiaan,” tegasnya.
Subjek kemanusiaan, cinta dan kasih sayang sudah tidak tampak lagi. Kini kasih sayang kian terusir dari keluarga, bahkan dari masyarakat. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga bukan berita langka. Ironisnya, kawin-cerai di kalangan selebriti bahkan telah menjadi gaya hidup.
Tradisi valentine bukan persoalan budaya global versus budaya lokal dan juga bukan soal pengaruh budaya asing. Hal ini juga bukan soal sentimen keyakinan, agama atau apapun.
“Ini merupakan persoalan kemanusiaan abad ini yang tidak bisa diukur melalui cara-cara parsial. Kita harus melihatnya secara menyeluruh. Dan intinya terletak pada pendidikan. Bukan pendidikan untuk anak-anak dan remaja semata-mata, tetapi pendidikan untuk bangsa,” pungkasnya.