Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketimpangan Ekonomi di Lampu Kuning, Warga Jakarta Masih Bahagia

Gambaran kondisi demografi Jakarta terkini menunjukkan meski penduduk miskin kian tertinggal, namun secara umum indeks kebahagiaan masih tinggi.
Pemukiman kumuh di kawasan Manggarai, Jakarta./Bisnis-Nurul Hidayat
Pemukiman kumuh di kawasan Manggarai, Jakarta./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA-- Gambaran kondisi demografi Jakarta terkini menunjukkan meski penduduk miskin kian tertinggal, namun secara umum indeks kebahagiaan masih tinggi.

Mudah melihat bagaimana timpangnya kelompok masyarakat yang secara ekonomi tak mendapat kesamaan akses. Saat masyarakat kelas menengah berbincang santai di Starbucks, masyarakat kelas bawah hanya menyeruput kopi di trotoar dari Abang Starling--Starbucks keliling atau penjual minuman dengan sepeda, termos, rencengan minuman instan lainnya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta Nyoto Widodo mengatakan ketimpangan sosial ekonomi Jakarta melebar dan mencetak angka tertinggi sejak 2009. Tahun ini, angka gini ratio DKI berada di level 0,43 atau masuk ke tingkatan hati-hati atau lampu kuning.

Rasio gini berada di angka 0 hingga 1, yang dalam pengertian awam mencerminkan seberapa besar porsi orang kaya menikmati kue ekonomi nasional. Semakin besar angkanya, semakin besar tingkat ketimpangan.

Rasio gini hingga 0,3 dianggap masih aman, tetapi 0,4 hingga 0,6 sudah dianggap lampu kuning, sedangkan lebih dari 0,6 adalah rasio yang berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi tak lagi bisa ditoleransi.

"Saat ini gini rasio DKI harus diwaspadai, karena sudah di lampu kuning," ujarnya.

Kondisi rasio gini yang masih aman terjadi sejak 2009 hingga tahun 2013, di mana posisi tertingginya 0,39 di 2012. Data BPS juga mengindikasikan kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar, jika dikonfrontasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan perlambatan yaitu tumbuh 5,95%. Sedangkan tahun sebelumnya berada di 6,11%.

Indeks Kebahagiaan

Kendati demikian, kelompok kaya dengan penghasilan rata-rata tertinggi Rp5,5 juta per kapita setiap bulannya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut sebesar 49,79%.

Sedangkan, porsi kue yang dinikmati penduduk berpendapatan terendah yaitu Rp781.000 per bulan setiap orangnya baru menikmati Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 14,66%.

Ketimpangan ini menjadi sangat kontras saat DKI dinyatakan mencapai indeks kebahagiaan di atas indeks secara nasional yaitu 69,21. Berdasarkan 1.129 rumah tangga yang dijadikan sampel, kelompok masyarakat menengah atas atau memiliki pendapatan rumah tangga lebih dari Rp7,2 juta per bulan mencapai indeks kebahagiaan tertinggi yaitu 76,21.

Sementara, kelompok masyarakat dengan pendapatan rumah tangga hingga Rp1,8 juta per bulan berada di 62,35. Secara umum, indeks kebahagiaan DKI termasuk urutan ke-14 tertinggi dan melampaui indeks secara nasional yang berada di angka 68,28.

Dari angka tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi angkanya, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya. Indeks 69,21 itu mencerminkan bahwa masyarakat Ibu Kota masih "berbahagia" kendati jarak antara kelompok berpunya semakin lebar. Sedangkan, angka indeks di atas 75 baru bisa disebut sangat bahagia.

Tiga aspek yang memiliki andil terbesar adalah pendidikan, pendapatan rumah tangga dan pekerjaan. Kepala Bidang Statistik Sosial BPS DKI Sri Santo Budi menambahkan, semakin tinggi pendapatan dan pendidikan, responden mengaku semakin bahagia.

"Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatannya, biasanya semakin merasa bahagia," katanya.

Subjektif

Menanggapi hal itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati Direktur Indonesia (Indef) Enny Sri Hartati menilai survei indeks kebahagiaan sangat subjektif, karena masyarakat akan sulit mengaku hidupnya tidak bahagia. Pasalnya, hasilnya begitu kontradiktif saat masyarakat miskin semakin tertinggal justru dianggap masih bahagia dengan keadaannya.

"Gimana bisa dari sisi kesejahteraan turun tapi masih bahagia?" katanya.

Enny mengatakan  selain indeks kebahagiaan, sebetulnya lebih penting mencari indikator kesejahteraan. Sebagai contoh, indeks pengembangan manusia atau indeks lain berdasarkan millenium development goals (MDG's) terutama yang berkaitan dengan ketersediaan lapangan kerja.

"Lebih baik buat indeks yang lebih objektif seperti IPM atau berdasarkan MDG's. Itu jauh lebih penting karena kesejahteraan bisa tergambar dari situ," katanya.

Jakarta, menurutnya, wajar jika memiliki ketimpangan ekonomi lebih tinggi. Hal ini karena seluruh kegiatan berada di Ibu Kota. Mulai dari pemerintahan, perdagangan dan keuangan. Selain dituntut menyediakan lapangan kerja, dia menganggap konektivitas perlu dibangun agar masyarakat di pinggir Jakarta bisa tetap mencari nafkah meskipun tak tinggal di DKI.

"Lapangan kerja disediakan dan juga konektivitas interland harus dibangun sehingga orang-orang yang tersisih bisa mengadu nasib di Jakarta tanpa tinggal di sini," tambahnya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper