Bisnis.com, TANGERANG - Mimpi Kota Tangerang untuk mereduksi timbunan sampah tampaknya harus dipendam untuk sementara waktu. Ini bukan soal pendanaan atau minimnya inovasi pemerintah daerah.
Pangkal soalnya adalah dasar hukum yang belum jelas atas rencana percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Semula, Presiden RI Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016. Di dalam beleid tersebut, tujuh kota yakni Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar ditunjuk sebagai percontohan implementasi PLTSa.
Perpres tersebut merupakan tindak lanjut dari No. 3 Tahun 2016 yang mengatur soal percepatan proyek strategis nasional, termasuk soal infrastruktur energi asal sampah.
Di dalam perpres tersebut, pemerintah memberi mandat tiga kota yakni Semarang, Makassar, dan Tangerang untuk membangun proyek infrastruktur energi asal sampah. Proyek tersebut juga masuk di dalam 225 proyek strategis nasional.
Namun, jika dilihat ruang lingkupnya, kedua perpres tersebut memang cukup berbeda. Perpres No. 18 Tahun 2016 mengatur lebih spesifik mengenai teknologi yang digunakan untuk mereduksi sampah dan mengubahnya menjadi tenaga listrik yakni melalui thermal process antara lain gasifikasi, insenerator, dan pyrolysis.
Tak hanya itu, daerah yang menjadi sasaran dari proyek ini bertambah menjadi tujuh kota dengan adanya tambahan Kota Bandung, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan DKI Jakarta. Pemilihan badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta bisa dilakukan melalui penunjukan langsung.
“Terus terang, kami belum mendapatkan info yang resmi dari pemerintah pusat mengenai pembatalan Perpres No. 18 Tahun 2016. Untuk melanjutkan rencana pembangunan PLTSa, Kota Tangerang menggunakan dasar hukum Perpres No. 3 Tahun 2016,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Ivan Yudhianto.
Menurutnya, pemkot juga tidak menutup kemungkinan terhadap penggunaan teknologi di luar insinerator (metode pembakaran) untuk proyek PLTSa di Tangerang. Pasalnya, dalam beleid Perpres No. 18 Tahun 2016, salah satu alasan Mahkamah Agung membatalkan perpres ini adalah bahwa penggunaan insinerator dianggap menimbulkan dampak lingkungan.
Sebelum hasil uji materil mengenai Perpres No. 18 Tahun 2018 ini keluar, pemerintah pusat dan daerah serta PT PLN (persero) bahkan sudah menandatangani kesepakatan penjualan listrik dari tujuh daerah yang ditunjuk menjadi lokasi percontohan PLTSa.
Tentunya, dalam perjanjian ini, dasar hukum yang digunakan adalah Perpres No. 18 Tahun 2016. Nantinya PLN akan membeli listrik dari PLTSa sebesar 100 MegaWatt (MW) yang bersumber dari tujuh pemerintah daerah yang menjadi lokasi percontohan pengembangan PLTSa. Adapun, PLN akan membeli listrik dari PLTSa DKI Jakarta sebesar 4x10 MW dan enam kota sisanya masing-masing 10 MW.
Jika perpres tersebut dicabut, maka kesepakatan penjualan listrik dari PLTSa itu otomatis tidak berlaku. Ivan mengungkapkan perjanjian penjualan listrik dari ketujuh daerah itu tidak memiliki benefit secara nominal terhadap pemerintah daerah.
“Tidak benefit secara nominal. Rencana pembangunan PLTSa ini murni bersumber dari persoalan sampah yang semakin pelik seiring pertumbuhan populasi di kota ini,” ucapnya.
Tim Percepatan PLTSa Tangerang memperkirakan timbunan sampah di Tangerang bisa mencapai 1.400 ton per hari dan dari jumlah tersebut, hanya sekitar 1.060 ton per hari yang mampu diproses di TPA Rawa Kucing.
Hingga saat ini, pengelolaan sampah di Tangerang menggunakan mengandalkan model sanitary landfill. Metode ini mengaplikasikan sistem pengolahan sampah dengan memanfatkan median tanah atau penimbunan sampah dengan mengembangkan lahan cekungan.
Artinya, kebutuhan lahan kosong untuk menampung timbunan sampah tiap harinya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing menjadi semakin tinggi. Padahal, ketersediaan lahan kosong di Kota Tangerang sengat terbatas, jikapun masih tersedia, harganya selangit.
Persoalan lainnya tentunya tergantung peruntukan lahan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Tangerang. Untuk saat ini, TPA Rawa Kucing memiliki luas 35 hektar dan peruntukan lahannya memang jelas sebagai TPA.
“Jika model sanitary landfill terus digunakan tanpa upaya reduksi timbunan sampah, maka kebutuhan penyediaan lahan kosong harus terus dilakukan oleh pemkot. Satu-satunya kebutuhan saat ini adalah mereduksi timbunan sampah,” jelas Ketua Tim Percepatan PLTSa Tangerang Guntur Sitorus.
Tanpa pembatalan Perpres No. 18 Tahun 2016, rencana pembangunan PLTSa di Tangerang juga masih menemui kendala karena areal TPA Rawa Kucing berada pada Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandar Udara Soekarno Hatta.
“Relative proximity terhadap runway Soekarno-Hatta [± 3 km] dan jika menggunakan insinerator, ketinggian tidak boleh melebihi 46 meter. Risiko emisi stack-gas waste to energy mengganggu jarak pandang lepas landas pesawat,” lanjutnya.
Merespons hal tersebut, George Gunawan, Ketua Pengawas Asosiasi Pengusaha Pengelola Limbah Indonesia (PPLI), mengungkapkan pembangunan insenerator dengan tinggi di bawah 46 meter membutuhkan biaya cukup besar.
“Seharusnya pemkot mempertimbangkan lokasi TPA tersebut karena pembangunan PLTSa membutuhkan lahan cukup besar, tak hanya 5 hektar yang dialokasikan pemkot saja. Jakarta saja bisa mencari lahan, Tangerang juga harus bisa melakukan hal yang sama,” tekannya.
Lebih lanjut, George menjelaskan penggunaan insenerator bukanlah satu-satunya teknologi yang bisa digunakan mereduksi sampah. Kendati demikian, insenerator dinilainya sebagai adalah teknologi yang paling masuk akal untuk mengatasi persoalan penimbunan sampah, jika dilihat dari seberapa banyak reduksi dan pembiayaannya.
Selain insenerator, teknologi lainnya yang bisa digunakan adalah plasma. Dengan menggunakan teknologi plasma, sampah atau limbah dapat diproses secara langsung dalam reaksi plasma, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik atau menggerakan turbin gas.
“Biayanya jauh diatas insenerator. Sudah ada beberapa negara yang memaanfaatkan teknologi antara lain China, Eropa, dan Amerika Serikat. Sayangnya, selain biayanya mahal, tidak banyak produsen yang memproduksi ini,” tambahnya.