Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober 2017.
Beberapa jam setelah dilantik di Istana Negara, Anies Baswedan menyampaikan pidato pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta di Balai Kota. Pidato pertama ini sontak bikin geger, karena mantan Menteri Pendidikan Kebudayaan itu mempergunakan kata ‘pribumi’ dalam pidatonya.
Berikut petikan pidato Anies yang menjadi kontroversi tersebut:
Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat, penjajahan di depan mata, selama ratusan tahun. Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari hari. Karena itu bila kita merdeka maka janji janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta.
Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.
‘Pribumi’ bikin geger. karena kata tersebut mendikotomikan pribumi dan nonpribumi. Kata tersebut juga telah dilarang penggunannya berdasarkan UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah meniadakan istilah pribumi atau keturunan.
Baca Juga
Setelah ‘pribumi’ bikin geger, tepatnya dua hari setelah dilantik muncul diksi ‘dikomporin’ oleh Sandiaga. Dia menggunakan kalimat tersebut ketika para wartawan di Balai Kota mempertanyakan kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta.
Berikut petikan wawancara Sandiaga soal reklamasi Teluk Jakarta pada 19 Oktober:
"Jadi jangan terlalu dikompor-komporin, jangan terlalu ariston temen-temen dari media. Sabar dulu, semua sabar. Kita lakukan dengan betul-betul, tidak tergesa-gesa.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘mengompori’ artinya memanas-manasi, menghasut. Sebenarnya, para wartawan itu bukan mau bikin panas situasi. Persoalan reklamasi ini menjadi sorotan, karena sehari setelah dilantik, Aliansi Korban Reklamasi berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI. Mereka meminta Anies-Sandi menepati janji untuk menyetop reklamasi Teluk Jakarta.
Di sisi lain, pemerintah pusat telah mencabut moratorium reklamasi Teluk Jakarta pada 5 Oktober, maka keputusan pemerintah pusat dan janji Anies-Sandi ini berseberangan. Pemerintah memutuskan proyek reklamasi di Teluk Jakarta dilanjutkan kembali.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan Luhut menegaskan, bahwa pembangunan di kawasan Teluk Jakarta dapat dilanjutkan karena semua permasalahan telah diselesaikan dan pihak pengembang telah memperbaiki persyaratan administrasi yang dikenakan sanksi.
Menteri LHK telah mencabut sanksi administratif Pulau C, Pulau D dan Pulau G, karena pengembang telah memenuhi sanksi moratorium dari pemerintah pusat karena masalah analisis mengenai dampak lingkungan. Atas dasar itulah mucul Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017. Surat tersebut mencabut surat Keputusan Menko Kemaritiman pada 2016 yang menghentikan sementara (moratorium) pembangunan reklamasi.
Pekan lalu, Sandiaga kembali menegaskan bahwa pihaknya tetap menolak reklamasi teluk Jakarta. Penegasan itu disampaikan Sandiaga meskipun dia telah bertemu dengan Luhut. Isu reklamasi ini pun akan dibahas Anies-Sandi dengan Presiden Jokowi.
Menyetop reklamasi merupakan janji yang diusung Anies-Sandi saat kampanye Pilgub DKI. Janji lain pasangan ini di antaranya adalah menyediakan rumah dengan DP Rp0, membangun stadion sepak bola sekelas stadion Old Trafford di Inggris untuk Persija.
Soal janji menyetop reklamasi ini, Anies cenderung tutup mulut, malah Sandiaga yang kerap berkomentar. Apakah ini karena Anies telah membuat geger dengan pidato ‘pribumi’-nya?
Tampaknya, Sandiaga tidak ingin mengecewakan para pemilihnya. Jika memang demikian, maka Anies-Sandi akan berseberangan dengan pemerintah pusat. Kedua belah pihak memiliki alasan masing-masing untuk melanjutkan, dan menyetop reklamasi Teluk Jakarta.
Anies-Sandi menjadikan dampak lingkungan dan kerugian nelayan menjadi alasan menolak reklamasi, sebaliknya Luhut menegaskan persoalan teknis, termasuk dampak lingkungan sudah diantisipasi, dan satu dari 17 pulau di pesisir utara Jakarta diperuntukkan untuk nelayan. Dengan demikian tidak ada alasan menolak reklamasi.
Posisi Anies-Sandi ibarat judul film ‘Maju Kena Mundur Kena’ yang dibintangi Warkop DKI pada 1983, bila gubernur dan wakil gubernur yang selalu berdua ke setiap acara ini memutuskan ikut pemerintah pusat, maka para pendukungnya akan kecewa. Sebaliknya, jika tidak mengikuti keputusan pemerintah pusat, mereka boleh jadi dianggap pembangkang.
Menjadi birokrat memang tak gampang, tidak seperti mengelola perusahaan sendiri. Tak juga segampang mengucapkan janji-janji manis saat kampanye. Zaman sudah berubah. Ini zaman transparansi, zaman digital, zaman media sosial. Semua hal terekam dan terpantau dengan baik. Rakyat menginginkan pemimpin yang satu kata dengan perbuatan.