Bisnis.com, JAKARTA--Ombudsman RI Parwakilan Jakarta Raya melalui Ombudsman RI telah menerima laporan Forum Peduli Pulau Pari mengenai dugaan maladministrasi dalam penerbitan sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Bumi Pari Asri di Pulau Pari.
Pelaksana Tugas (Plt) Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Dominikus Dalu mengatakan pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap terlapor, yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara dan jajaran sebanyak empat kali.
"Kami juga telah memeriksa pihak terkait yaitu Kementerian ATR/BPN dan Pemprov DKI Jakarta," katanya, Senin (9/4/2018).
Selain itu, Ombudsman melakukan investigasi lapangan di Pulau Pari sebanyak 2 kali, meminta keterangan ahli, dan melakukan telaah dokumen yang terkait dengan laporan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang terangkum dalam LAHP (laporan akhir hasil pemeriksaan), Ombudsman menyimpulkan ditemukan beberapa maladministrasi.
Pertama, penerbitan sertifikat hak milik (SHM). Dominikus mengatakan terjadi penyimpangan prosedur penerbitan 62 SHM di Pulau Pari tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4 serta Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
"Proses pengukuran tidak diinformasikan atau tidak diketahui oleh warga Pulau Pari atau yang berbatasan dengan bidang-bidang tanah. Selain itu, hasil pengukuran/daftar peta bidang tanah tidak diumumkan sehingga warga tidak memiliki kesempatan untuk menyatakan keberatan," lanjutnya.
Selain itu, penyalahgunaan wewenang juga terjadi saat penerbitan 62 SHM di Pulau Pari. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli kepemilikan hak atas tanah dan peralihan fungsi lahan di Pulau Pari yang bertentangan dengan Pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Kedua, penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Penyalahgunaan wewenang terjadi pada saat penerbitan 14 SHGB di Pulau Pari bertentangan dengan beberapa dasar hukum, yaitu pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, pasal 2 Huruf g Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 171 Ayat 1 dan ayat 2 huruf e Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dan ketentuan Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Pada pokoknya, penerbitan 14 SHGB di Pulau Pari mengabaikan fungsi sosial tanah, adanya monopoli kepemilikan hak, mengabaikan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang, melanggar RTRW [kawasan permukiman], serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik," ucapnya.
Menurutnya, Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara tidak melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pemegang SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa, sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 35 Huruf b PP Nomor 40 Tahun 1996.
Seharusnya Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pemegang hak yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Huruf b dan c PP 40/1996.
"Korporasi pemegang SHGB sejak tahun 2015 tidak melakukan aktivitas di atas tanah atau membiarkan tanah telantar," kata Dominikus.
Sengketa Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, antara warga dan PT Bumi Pari Asri saat ini masih belum menemukan titik terang. Warga mengklaim tanah tersebut karena sudah tinggal secara turun-temurun, sedangkan PT Bumi Pari Asri merasa telah membeli tanah tersebut dari warga.
Sengketa ini berawal pada 2014 ketika perwakilan PT Bumi Pari Asri mendatangi warga Pulau Pari dan mengakui tempat tinggal mereka sebagai lahan milik mereka.