Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta saling serang perkara bantuan sosial, padahal akar masalah sebenarnya hanya satu, yakni data.
Menteri Sosial Juliari P. Batubara menjelaskan bahwa realisasi bantuan sosial (bansos) dari Pemprov DKI Jakarta tak sesuai dengan kesepakatan awal.
Menurut Ari, pemerintah pusat awalnya bersepakat akan menangani bansos kepada warga yang tidak menerima bansos dari Pemprov DKI. Namun, di beberapa tempat, Ari menemukan ternyata ada kemiripan data penerima manfaat kedua bansos tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta Irmansyah menjelaskan bahwa Pemprov DKI fokus memutakhirkan pendataan bansos tahap II sebagai pelengkap realisasi tahap I yang telah terlaksana pada 9—25 April 2020.
Target sebesar 2 juta penerima manfaat pada pendataan tahap kedua ini merupakan hasil survei di tingkat RT/RW, kemudian naik ke kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota administrasi, lalu diverifikasi di tingkat provinsi, yang nantinya juga akan disampaikan kepada Kementerian Sosial.
Hal ini dimaksudkan supaya beriringan dan penerima manfaat bisa mendapatkan bantuan secara rutin, terlebih bansos dari pusat terbilang 'telat', padahal kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah akan digelar di Jakarta.
Hal ini juga untuk menjawab kritikan dari pemerintah pusat bahwa data penerima bansos tahap I DKI Jakarta, mirip-mirip dengan penerima bantuan pemerintah pusat pada 20 April 2020.
"Prinsipnya dari pak gubernur, jangan sampai ada yang kelaparan. Kita kan enggak bisa menunggu. Sambil menunggu bansos presiden tanggal 20 April, makanya kita mulai lebih dulu karena kita tidak bisa melihat masyarakat yan sedang membutuhkan. Di samping itu, tanggal 10 April kita PSBB. Makanya kita mulai tanggal 9 April," jelasnya.
Tak Punya Anggaran?
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan bahwa bansos DKI tahap II akan berupa bingkisan bantuan sosial menjelang Idulfitri. Proses eksekusinya akan dilakukan sekitar seminggu atau 10 hari sebelum Lebaran.
Anies mengklaim bahwa pada dari data seluruh distribusi bansos DKI tahap I, sebesar 98,4 persen berhasil terdistribusi ke warga yang berhak dan memang membutuhkan.
Sisanya, atau 1,6 persen belum berhasil terdistribusi secara tepat sasaran karena beberapa kasus, seperti salah alamat, ternyata orang mampu, atau warga penerima ternyata sudah meninggal.
Kesalahan ini akan menjadi bahan koreksi dan pemutakhiran data pada bansos DKI tahap II sehingga makin tepat sasaran walaupun jumlah penerima manfaatnya meluas dan makin banyak.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap kabar terbaru bahwa Pemprov DKI Jakarta tak kuat lagi menanggung anggaran 1,1 juta dari total 3,7 juta keluarga penerima manfaat bantuan sosial.
"Kami dapat laporan Pemprov DKI Jakarta tidak bisa meng-cover 1,1 juta, jadi sekarang di-cover oleh pemerintah pusat," katanya, Rabu (6/5/2020).
Namun, Anies mengaku telah menyediakan anggaran dalam komponen belanja tidak terduga sebesar Rp5,03 triliun dalam penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2020.
Anggaran tersebut dialokasikan untuk penanganan tiga sektor, yakni penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan penanganan jaring pengaman sosial, yang dapat digunakan sewaktu-waktu dan apabila dibutuhkan.
Tak Punya Penengah
Pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen Agus Pambagio menilai bahwa masalah ini mengemuka akibat nihilnya data integrator yang bisa menjadi penengah untuk mengatasi tumpang tindih realisasi bansos.
"Selain anggaran ada atau tidak, itu urusan belakangan. Datanya dulu dibenahi. Harus real time. Itu biang kerok [pelaksanaan] bansos selalu ribut. Saya sudah ngomong sejak bertahun-tahun enggak pernah dibereskan," ungkapnya kepada Bisnis, Kamis (7/5/2020).
Menurutnya, basis data terpadu kesejahteraan sosial yang terakhir kali diperbarui pada 2015 tidak bisa lagi mencerminkan keadaan di lapangan.
Menurut Agus, sebenarnya langkah Pemprov DKI untuk mendata warga penerima manfaat bansos secara dari bawah ke atas atau dari RT/RW merupakan konsep ideal. Namun, kini tampak kisruh karena terbilang terlambat, serta tak dilakukan dengan teknologi terbaru sehingga tercipta kecepatan dan transparansi.
"Intinya nagara ini memerlukan data integrator atau pusat pengumpul data yang akurasinya tinggi dan real time dengan memanfaatkan teknologi informasi. Data integrator sebaiknya ada di sebuah kementerian/lembaga yang tugasnya sejalan dengan pengelolaan dan pendistribusian dana, yaitu Kementerian Keuangan," tambahnya.
Menurut Agus, hal ini penting supaya akurasi data penduduk miskin dengan anggaran yang harus dialokasikan sinkron dan tidak terhalang oleh ego sektoral.
Verifikasi data terintegrasi dengan basis nomor induk kependudukan atau KTP elektronik yang berada di bawah kendali Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri inilah yang harusnya jadi pegangan.
"Dengan adanya pusat data integrator akan dapat dihindari Bansos Covid-19 atau bencana lain di seluruh Indonesia ini salah sasaran dan dikorupsi secara berjemaah," jelasnya.