Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 menimbulkan dilema tersendiri bagi perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2021. Pihak eksekutif masih berhati-hati dengan anggapan perekonomian Ibu Kota masih belum pulih betul.
Dari rapat rutin bersama Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI Jakarta, pihak eksekutif tampak masih menerapkan strategi moderat dalam merencanakan APBD 2021, dengan total nilai Rp63,1 triliun hingga Rp66,9 triliun.
Sementara pihak legislatif diwakili Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI Jakarta justru menganggap tahun depan sebagai momentum DKI Jakarta untuk 'all out' dengan mengerahkan segala tenaga, memaksimalkan potensi karena masih punya potensi APBD 2021 berada di angka Rp72,9 triliun.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra S Andyka mengungkap alasannya. Menurutnya, apabila legislatif tidak percaya diri, optimalisasi penerimaan daerah tak berjalan mulus, yang nantinya menimbulkan konsekuensi banyak program yang tergerus karena tak ada biaya.
"Kemarin itu kita marah, karena mereka [legislatif] seperti mengunci di angka Rp66,9 triliun. Kita legislatif juga punya fungsi budgeting. Selain itu, konsepnya harus money follow programs, jangan terbalik. Kita minta paparkan dulu yang Rp72 triliun, baru kita lihat kemampuan pembiayaannya," jelasnya kepada Bisnis, Kamis (25/6/2020).
Menurutnya, DKI harus optimistis karena asumsi perhitungan makro IMF, World Bank, dan IDB menyatakan pertumbuhan ekonomi tahun depan sudah membaik pascapandemi Covid-19.
Baca Juga
Selain itu, masih banyak penerimaan daerah yang bisa dioptimalkan seiring disahkannya beberapa kebijakan baru (lewat peraturan daerah) terkait pendapatan asli daerah (PAD) maupun penerimaan lain untuk DKI Jakarta.
"Bulan depan itu kita mengesahkan empat perda. Satu tentang retribusi, tiga tentang pajak. Retribusi ini kan lumayan, kalau pajak itu dari pajak parkir, pada mulanya 20 persen jadi 30 persen termasuk mengatur terkait vale, parkir langganan dan VIP. Kemudian ada perubahan untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak penerangan jalan (PPJ). Ini kan cukup besar buat pendapatan kita," tambahnya.
Andyka berharap, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) harus anggaran yang cukup pula. Supaya bisa memainkan peranan besar untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi PAD.
Selain dari PAD, Andyka menyebut beberapa pemasukan lain pun bisa menjadi tumpuan, seperti dividen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta optimalisasi aset milik daerah.
"Memaksimalkan aset itu masih sangat terbuka. Di Kuningan, di Lokasari, dan lainnya, masih bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga daripada banyak yang terlantar. Apalagi kita sudah pakai e-aset. Harusnya datanya terbuka, dong. Tapi saya minta sudah dua bulan, di mana saja aset kita berupa tanah dan bangunan, sampai sekarang belum dikasih. Makanya rapat berikutnya Badan Pengelola Aset Daerah itu kita minta harus datang," tutupnya.
Sebelumnya, hal senada diungkap Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Golkar Dimaz Raditya bahwa program-program penstimulasi ekonomi perlu ditingkatkan terutama belanja stimulus untuk UMKM.
Akibat pandemi Covid-19, pengangguran makin banyak, restoran-restoran, perusahaan-perusahaan besar banyak tutup, PHK di mana-mana.
"Nah, kalau itu tidak ada stimulan program dari DKI Jakarta, itu korban nya makin banyak nanti dan makin banyak yang kesulitan, jadi pemerintah kami harap program-program nanti selain banjir juga pembangunan tentunya ada program yang bisa menstimulasi UMKM di DKI Jakarta," ujar Dimaz.
Anggota Komisi C DPRD DKI Gani Suwondo mendorong eksekutif menghadirkan penghitungan pagu indikatif yang lebih cermat, terutama menggenjot perekonomian dari sektor pariwisata hingga perhotelan.
"Sektor perhotelan semua mulai hidup kembali, ini saja mulai jalan tempat-tempat pariwisata ini sudah buka, itu antusias sekali di Ancol ataupun Ragunan dan nanti mungkin turis masuk itu bisa menambah setor restoran, setor hotel, pariwisata, parkir, semua ini kan akan menjadi mendukung penambahan pendapatan. Jadi menurut kami cuma Rp72 triliun itu sangat realistis, kenapa mereka kurang percaya diri, kalau kita mau kan semua bisa tercapai," ungkap Gani.
Berhati-hati
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono menjelaskan bahwa penyesiuaian masih dilakukan.
Pemprov DKI Jakarta memilih berhati-hati karena akibat Covid-19, PAD DKI Jakarta jeblok pada April 2019, sementara dana transfer dari pusat pun masih penyesuaian karena pendapatan juga berkurang.
"Skenario yang kita buat itu optimistis Covid-19 turun bulan Juni, kemudian kita cepat rebound lagi atau kurva V. Tapi kalau pesimistis itu kurvanya U, turun agak lama melandai, baru balik kembali," jelasnya.
Menurutnya, pendapatan Rp63 triliun itu sudah di posisi optimistis. Di rapat TAPD eksekutif terus menggali lagi potensi yang paling optimistis dari optimistis. Namun, menurutnya sudah mentok di angka Rp66 triliun.
Sementara, pelaksana tugas (plt) Kepala Bapenda DKI sekaligus Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DKI Jakarta Edi Sumantri mengakui bahwa penerimaan masih bisa dioptimalkan dengan menggali sektor-sektor pendapatan di luar pajak daerah.
"Pendapatan dari pajak kemungkinan akan kita upayakan untuk meningkat, tapi mohon dukungan juga [legislatif] untuk mempercepat Perda yang bisa mengoptimalkan pendapatan kita. Kita akan siapkan paparannya dengan berbagai upaya itu, angkanya bisa naik sampai berapa. Tapi mohon dukungan juga agar regulasi itu cepat bisa diterapkan," ujar Edi.
Berikut rangkuman perencanaan APBD 2021 dari sisi legislatif dengan nilai total Rp66,3 triliun:
Sisi Pemasukan (Rp66,9 triliun)
- PAD Rp46,3 triliun
- Dana Perimbangan Rp17,4 triliun
- Lain-Lain Pendapatan yang sah Rp2,5 triliun
- Penerimaan Pembiayaan Rp588,4 miliar
Sisi Pengeluaran (Rp66,9 triliun)
- Belanja Tidak Langsung Rp33,8 triliun
- Belanja Langsung Rp27,3 triliun
- Pengeluaran Pembiayaan Rp5,7 triliun