Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti politik dari ISEAS Yusof Ishak Institute Made Tony Supriatma berpendapat kebijakan pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat di DKI Jakarta sarat dengan muatan politis.
“Sulit untuk melihat kebijakan PSBB DKI Jakarta ini tidak dari kacamata politik. Artinya, kebijakan kesehatan publik ini sebenarnya sarat dengan muatan politis,” kata Made melalui pesan tertulis kepada Bisnis, Minggu (13/9/2020).
Pertama, menurut Made, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menyiapkan diri untuk gelombang kedua pandemi Covid-19. Padahal, pandemi di DKI Jakarta sempat turun saat pemberlakuan PSBB ketat di awal April lalu.
“Apa yang sudah dilakukan Pemda ketika angka penularan Covid ini menurun? Itu sebenarnya kesempatan untuk membuat persiapan-persiapan gelombang kedua. Saya kok tidak melihat Pemda melakukan hal ini,” ujarnya.
Kedua, dia melanjutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Bodetebek ihwal rencana pemberlakuan kembali PSBB ketat pada Rabu (9/9/2020) lalu.
“Lalu apa tujuan Pemda DKI untuk jalan sendiri? Pemda DKI kan tidak bisa menutup perbatasannya. Jadi percuma PSBB di DKI tapi orang dari luar DKI bisa bebas keluar masuk,”ujarnya.
Baca Juga
Dengan demikian, dia berpendapat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal menurunkan derajat dari pengketatan PSBB. “Bahkan lebih ekstrem lagi, kebijakan ini terancam gagal karena resistensi dari berbagai pihak termasuk dari pemerintah pusat,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi mengumumkan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang lebih ketat di tengah peningkatan angka penyebaran wabah virus Corona atau Covid-19 di Ibu Kota.
Hal itu diumumkan langsung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi pers penerapan PSBB di Jakarta, Minggu (13/9/2020).
"Kita memasuki fase pembatasan yang berbeda dibandingkan masa transisi kemarin. Fase ini selama dua pekan," tegas Anies Baswedan.