Bisnis.com, DEPOK- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo didemo sejumlah masyarakat yang mengatasnamakan Solidaritas untuk Keadilan Warga Batang.
Unjuk rasa dilakukan di dalam auditorium Fakultas Psikologi UI Depok, Jumat (19/2/2016) seusai acara Revolusi Mental sebagai Intervensi Sosial.
Koordinator aksi, Hadi Priyanto mengatakan revolusi mental seharusnya wujud dari implementasi kemandirian rakyat secara utuh tanpa intimidasi dan paksaan. Namun, nyatanya di Kabupaten Batang malah dibangun PLTU yang dinilai menyengsarakan rakyat.
"Kami sudah hidup sejahtera dan sama sekali tidak butuh PLTU karena akan menjerumuskan ke jurang petaka," ujarnya.
Dalam aksinya tersebut, mereka menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan proyek PLTU batu bara yang merambah lima desa di Kabupaten Batang antara lain Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowereng, Wonokerso dan Roban.
Seperti diketahui, PLTU Batang merupakan kerja sama pemerintah dengan PT Adaro Energy, PT Itochu dari Jepang dan PT J-Power juga dari Jepang yang belakangan bergabung dalam konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia.
Proyek berkapasitas 2x1000 megawatt itu diklaim menjadi PLTU batu bara terbesar di Asia Tenggara yang sebelumnya merupakan proyek pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono guna menyuplai energi industri dan bukan mengaliri listrik ke perumahan rakyat.
Dalam keterangan yang disampaikan Hadi, proyek tersebut sempat gagal dalam empat tahun, tetapi masih dilanjutkan meskipun diklaim masih terkendala pembebasan lahan.
Sekitar 10% dari 226 hektare lahan proyek PLTU Batang masih dimiliki warga setempat yang enggan menjual lahannya. Namun, lahan milik warga tersebut kini ditandai dengan patok penanda proyek serta dijaga ketat oleh aparat.
"Di sekitar lokasi proyek, aparat membangun tanggul di sekitar persawahan agar aliran irigasi tak bisa masuk."
Adapun, warga yang hendak mengakses tanahnya sendiri untuk menanam diancam dengan hukuman bui selama sembilan bulan hingga dua tahun.
Menurutnya, sejak rencana pendirian PLTU bergulir pada 2011, warga Batang konsisten menolak rencana tersebut hingga saat ini. Mereka bahkan banyak yang diintimidasi dan dikriminalisasi yang mereka terima dari aparat resmi negara maupun preman bayaran.
Unjuk rasa sendiri tergolong unik. Awalnya, para pengunjukrasa menyimak pemaparan Menteri Puan Maharani dan Bupati Yoyok ihwal revolusi mental. Namun, setelah diskusi selesai, warga yang mulanya menyimak sebagai audiens langsung mengacungkan sejumlah spanduk dan poster berisi penolakan pembangunan PLTU Batang.
Mereka menilai pemaparan soal revolusi mental tidak sejalan dengan kondisi di lapangan di mana warga Batang sendiri terancam oleh pembangunan PLTU tersebut yang dinilai telah direstui oleh Bupati Yoyok.
Namun, setelah dikonfirmasi Bupati Yoyok enggan menjawab. "Soal PLTU Batang saya no comment. Itu urusan pemerintah pusat," ujarnya.
Demikian juga dengan Menteri Puan Maharani. Dia enggan memberikan pernyataan terkait protes rencana PLTU Batang tersebut.
Seperti pada seminar dan diskusi yang diinisiasi oleh Fakultas Psikologi UI tersebut menghadirkan juga Bupati Wakatobi Hugua, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah dan Pokja Revolusi Mental Hamdi Muluk.