Bisnis.com, JAKARTA - "Sistem [jalan] berbayar memang harus secepatnya diterapkan. Setidaknya untuk mengurangi kemacetan di sebagian ruas jalan di Jakarta yang semakin padat," ujar Nurhadi Firmana, warga Jakarta, kepada Bisnis pada Jumat (16/11/2018).
Sistem jalan berbayar (Electronic Road Pricing) kembali menghangat setelah pemerintah kembali mewacanakan aturan itu pada 2019. Artinya, pengguna kendaraan nantinya akan dipungut biaya ketika melewati sejumlah ruas jalan di DKI Jakarta pada jam-jam tertentu.
Bukan tanpa alasan bagi Nurhadi agar penerapan itu segera di realisasikan. Bagi pria berumur 41 tahun itu, kemacetan di sejumlah ruas jalan di Jakarta sudah termasuk akut apalagi di jam-jam sibuk seperti jam masuk dan pulang kerja.
Lain lagi bagi Fazhri Ramdhan, warga Bandung, yang hampir tiga kali dalam seminggu menuju Jakarta untuk urusan pekerjaan. Dia mengaku aturan itu sedikit mengganggu. Apalagi, dia mendengar kabar jalan yang akan diterapkan berlaku di perbatasan Jakarta.
Dia mengaku khawatir pungutan yang akan dikenakan tinggi. Terlebih, ongkos yang dikeluarkannya dalam satu kali perjalanan menuju Jakarta terhitung besar antara lain untuk bensin, biaya tol dan makan.
"[Bisa] mengurangi kepadatan di sebagian jalan [di Jakarta]. Tapi, bagi saya, jangan sampai tarifnya tinggi. Apalagi, untuk di perbatasan karena kerjaan saya mobile termasuk ke perbatasan Jakarta," katanya.
Ganjil-Genap Sementara
Penerapan ERP sejalan dalam Perpres 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 2018-2029. ERP merupakan pengganti kebijakan ganjil-genap yang saat ini berlaku di sejumlah ruas jalan Jakarta dan umurnya akan selesai hingga akhir tahun ini.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek tidak ingin ada kekosongan kebijakan setelah ganjil-genap selesai, karena bersifat sementara sehingga ERP adalah pilihan tepat sebab bagian dari program jangka panjang yang termaktub dalam RIJT.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengatakan ERP perlu perencanaan yang konkret agar memiliki dampak yang luas. Rencana induk pun tengah digodok secara matang. Saat ini, tengah disusun masterplan dan masih dilakukan studi yang menelan waktu 1 tahun hingga 2019 mendatang.
Hasil studi kelayakan akan menghasilkan kebutuhan investasi serta pemetaan terutama untuk Ring 3 di ranah BPTJ. Ring 1 di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Ring 2 di Kuningan dan jalan utama di sekitarnya, dan Ring 3 di perbatasan Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang.
Menurutnya, setelah penyelesaian rencana induk dan hasil studi, dilanjutkan dengan tahap detail engineering design (DED), kemudian tender dan pembangunan. Bambang menyebut banyak investor swasta yang siap menyuntik dana melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan usaha (KPBU).
“Jadi target saya tahun 2019 sudah dimulai fisiknya.” kata Bambang saat mengunjungi redaksi harian Bisnis Indonesia, Kamis (15/11/2018).
3 Investor Ikut Lelang
Berdasarkan laman lpse.jakarta.go.id, setidaknya ada tiga investor yang ikut lelang dalam proyek ini yakni PT Bali Towerindo Sentra (Indonesia), Q-Free (Swedia) dan Kapsch (Austria).
Adapun dalam catatan Bisnis, Q-Free telah melakukan uji coba ERP pada 2014 lalu di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Akan tetapi, proyek tersebut tidak dilanjutkan.
Di sisi lain, ujicoba yang seharusnya juga dilakukan panitia lelang di kawasan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Rabu (14/11/2018) lalu urung dilakukan.
Adapun soal tarif yang menjadi kekhawatiran Fazhri, Bambang mengatakan nantinya akan dikenakan tarif progresif. Artinya, tarif akan kondisional mengikuti situasi lalu lintas jalan. Pengguna akan dikenakan tarif tinggi ketika jam macet, dan tarif normal saat jalanan lengang.
Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menilai kebijakan ERP akan efektif bila dibarengi dengan konektivitas transportasi massal yang memadai karena ERP bagian dari manajemen lalu lintas.
Apalagi, kebijakan ini juga bagian dari strategi push and pull yaitu membatasi kendaraan pribadi dan mendorong masyarakat menggunakan kendaraan umum. Dia menilai konektivitas antarmoda mutlak didorong khususnya di wilayah penyangga bagi masyarakat yang akan hendak menuju Ibu Kota, sehingga akan terjadi peralihan.
"Syaratnya yaitu tersedianya angkutan umum. Namun, angkutan umum yang tersedia juga konektivitasnya harus baik dalam artian bisa menjangkau semua wilayah," katanya.
Tarif Tinggi
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menambahkan penerapan ERP akan lebih efektif terutama jika tarifnya tinggi sehingga mendorong kesadaran masyarakat beralih ke angkutan umum.
Wacana penerapan ERP sejatinya sudah bergulir sejak 2006 oleh Gubernur DKI kala itu, Sutiyoso, hingga terus berlanjut ke gubernur selanjutnya. Sampai sekarang, wacana tersebut terus digulirkan.
Namun demikian, kebijakan ERP harus sejalan dengan upaya-upaya lain yang saat ini digencarkan pemerintah mengingat untuk membatasi kendaraan pribadi pemerintah sempat menerapkan kebijakan three-in-one yang dianggap tidak efektif lantaran kemacetan masih kerap terjadi.
Selain itu, kebijakan ganjil-genap juga belum maksimal karena masih ada celah termasuk membeli kendaraan baru lagi, maupun hanya memindahkan kemacetan ke kawasan lain.