Tionghoa Lawan Belanda
Masyarakat Tionghoa melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Terjadi peristiwa "Chinezen murder’" pada tahun 1740 di Batavia dan meluas hingga ke Jawa (Semarang), menyebabkan turunnya populasi masyarakat Tionghoa.
Sensus penduduk pertama dilakukan Belanda tahun 1667, populasi masyarakat Tionghoa di Batavia sekitar 70 ribu sampai 100 ribu. Peristiwa huru-hara antara masyarakat Tionghoa dan Belanda menewaskan sekitar 5.000 warga Tionghoa di Batavia dan 5.000 orang lainnya di Semarang.
Akhir abad ke-18 kedatangan masyarakat Tionghoa terus mengalir termasuk para pemodal. Mereka membangun sejumlah pabrik memproduksi barang sesuai kebutuhan masyarakat. Para pemodal Tionghoa ini disebut dengan Baba.
Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) memilah penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga kelompok untuk tujuan administrasi, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera. Masyarakat Tionghoa masuk dalam golongan kedua.
Kehadiran pemodal Tionghoa ini menghidupkan ekonomi Hindia Belanda, sejak itu mulai dibuka bank, angkutan kapal, KLM, kereta api dan term.
Dalam buku "WNI keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia" karya DR IR Justian Suhandinata disebut, para profesional Tionghoa yang mendukung Indonesia yang merdeka membentuk Partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1930.
Pada Pemilu pertama tahun 1955 partai politik Baperki yang dibentuk oleh warga keturunan Tionghoa diketui oleh Siauw Giok Tjhan ikut serta dalam pemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September, dan berhasil memperoleh dua kursi.