Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman DKI Jakarta Raya mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bergerak mengatasi maraknya kasus warga yang terperosok lubang galian proyek jaringan utilitas terkait revitalisasi trotoar.
Kepala Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk memperbaiki koordinasi antar satuan kerja perangkat daerah (SKPD) melakukan pengawasan lebih ketat terhadap pembangunan dan pemanfaatan trotoar pascabangun.
"Terutama Dinas Bina Marga, Satuan Polisi Pamong Praja, dan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2019).
Teguh menekankan peristiwa jatuhnya mobil Xenia di Kawasan DI Panjaitan, Senin (25/11/2019) ke dalam lubang galian proyek PLN sebagai bagian dari perbaikan jaringan utilitas kabel udara terkait revitalisasi trotoar.
"Ini merupakan puncak gunung es dari lemahnya koordinasi pengawasan oleh Pemprov terhadap para kontraktor pelaksana,” tambahnya.
Terkait hal ini, Ombudsman Jakarta Raya pun telah menerima laporan dari masyarakat terkait buruknya pengawasan terhadap pekerjaan para kontraktor dalam revitalisasi trotoar dan jaringan utilitas.
Empat keluhan yang dominan, yakni minimnya informasi pekerjaan para kontraktor, pembatas proyek yang tak layak, penempatan material proyek yang sembarangan, dan akses pejalan kaki yang tertutup parkir atau pedagang di sekitar proyek.
Ombudsman telah melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi pengerjaan kontraktor di beberapa wilayah. Ombudsman menemukan lubang-lubang galian tanpa penutup dan papan informasi yang jelas, serta penempatan material proyek di trotoar atau sebagian jalan raya.
“Kami misalnya menemukan sepanjang arah Cawang, Kampung Melayu, Otista dan Casablanca, beberapa proyek memang memasang seng pembatas tapi tanpa informasi proyek yang jelas, hamparan material proyek berada di jalan dan trotoar hingga menutup akses pejalan kaki dan pengguna jalan raya,” ungkap Teguh.
Ketentuan terkait standar pelaksanaan kegiatan pembangunan di Jakarta sebetulnya sudah cukup komprehensif sebagaimana termuat dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 72 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pengawasan dan Pelaksanaan Kegiatan Membangun di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota.
Dalam Pasal 8 dijelaskan bahwa lokasi proyek harus dipagar setinggi minimal 2,5 meter dengan memperhatikan keamanan, keindahan, dan keserasian lingkungan serta tidak melampaui GSJ dan terbuat dari bahan sementara yang harus dibongkar setelah pelaksanaan kegiatan membangun selesai.
"Jika kontraktor PLN di Jalan DI Panjaitan diawasi dengan baik oleh pihak Pemprov DKI, seharusnya peristiwa jatuhnya mobil ke dalam lubang proyek tidak harus terjadi karena ada pembatas seng yang memadai,” tambahnya.
Sementara terkait informasi papan proyek, Ombudsman Jakarta Raya melihat, beberapa kontraktor hanya mencantumkan nama proyek dan peringatan keselamatan kerja bagi para pekerja proyek.
"Informasi proyek untuk kepentingan pengguna yang haknya diambil malah sangat sedikit, seharusnya kalau mereka mencantumkan keseluruhan kewajiban sebagaimana di Pasal 9 Kepgub tersebut, masyarakat akan mengetahui waktu pelaksaanaan proyek dan menyesuaikan dengan pengerjaan waktu proyek tersebut untuk menghindari kemacetan dan penumpukan kendaraan,” jelas Teguh.
Dalam Pasal 9 beleid Kepgub tersebut pun disebutkan bahwa sebelum dan selama kegiatan membangun dilaksanakan, harus dipasang papan proyek yang mencantumkan nama proyek, nama pemilik, lokasi, tanggal izin, pemborong, dan Direksi Pengawas dengan cara pemasangan yang rapi dan kuat serta ditempatkan pada lokasi yang mudah dilihat.
Sementara penempatan material proyek yang menutupi jalan dan trotoar, sebetulnya bisa dihindari jika Pasal 12 Ayat 2 ditaati oleh para kontraktor dan diawasi oleh Pemprov DKI Jakarta dengan ketat.
Dalam peraturan tersebut, dinyatakan bahwa untuk keperluan pelaksanaan kegiatan membangun, selain sarana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) pasal ini, pemborong juga harus menyediakan: direksi keet, tempat untuk penyimpan bahan bangunan, dan los kerja yang penempatannya ditata rapi dalam lokasi proyek.
“Kami melihat para kontraktor pembangunan ini merasa jalan raya sebagai tempat penyimpanan bahan bangunan walaupun menutup jalan dan trotoar,” tegas Teguh.
Baca Juga
Alih Fungsi Trotoar
Selain keluhan selama masa revitalisasi dan pembangunan utilitas, keluhan selanjutnya yang disampaikan kepada Ombudsman Jakarta Raya adalah terkait pemanfaatan trotoar yang baru selesai dibangun digunakan sebagai tempat parkir liar dan ditempati oleh Pedagang Kaki Lima (PKL).
Teguh menegaskan bahwa trotoar merupakan fasilitas penunjang jalan yang tidak boleh diganggu untuk kegiatan lainnya.
“UU Lalu Lintas Pasal 131 Ayat (1) dengan jelas menyatakan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Sementara di Pasal 45 dijelaskan bahwa trotoar merupakan bagian dari fasilitas pendukung lalu lintas," ujar Teguh.
Besarnya perhatian UU Lalu Lintas dalam menjaga keselamatan para pengguna jalan, kemudian ditunjukan dengan sanksi pidana dalam Pasal 274 Ayat (2) dan pasal 275 Ayat (1) kepada siapapun yang merusak atau menggangu fungsi jalan termasuk fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas, dimana trotoar termasuk di dalamnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan kembali menegaskan fungsi trotoar tersebut. Pasal 34 Ayat (4) menyatakan bahwa Trotoar sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Teguh menyayangkan jika trotoar yang sudah dibiayai sangat mahal tersebut kembali semrawut karena menjadi tempat parkir liar dan PKL. Pemprov DKI Jakarta sering kali menyatakan bahwa mereka merasa kerepotan untuk mengusir PKL karena setiap kali mereka menertibkan PKL, tidak dalam waktu yang lama mereka kembali ke lokasi semula.
Menurut Teguh, hal tersebut pasti akan terus terjadi karena menyangkut periuk nasi warga sehingga revitalisasi trotoar harus diimbangi dengan pelaksanaan Perda No. 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta dan Perda No. 7 tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum.
“Sejauh ini para Gubernur DKI, baik Pak Anies maupun pendahulunya belum secara optimal memaksa para pemilik pusat perbelanjaan swasta menjalankan kewajiban mereka menyediakan lahan 10–20% dari total luas lahan mereka untuk PKL,” ungkap Teguh.
Selain Perda tersebut, Pemprov DKI Jakarta juga sejauh ini belum maksimal dalam memaksa para pemilik gedung di Jakarta, termasuk gedung perkantoran, untuk menyerahkan Parasana, Sarana dan Utilitas (PSU) mereka kepada Pemprov. Perda No. 7 Tahun 2012 mengamanatkan kepada Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penagihan kepada para pemilik gedung yang belum menyerahkan PSU.
Sarana perniagaan, termasuk PSU yang harus diserahkan kepada Pemprov, dan sarana itu bisa dipergunakan untuk fasilitas Parkir dan PKL.
Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan evaluasi terkait pengawasan kepada para kontraktor proyek revitalisasi trotoar dan jaringan utilitas dalam masa pembangunan dan sinkronisasi kebijakan antar SKPD pasca bangun.
“Kami akan melakukan monitoring terhadap fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Pemprov DKI ini. Jika tidak ada upaya perbaikan, kami akan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri dengan memanggil para pihak pengawas agar menjalankan fungsi pengawasannya” tutup Teguh.