JAKARTA: Setiap anak yang lahir berhak mendapatkan legalitas berupa akte kelahiran sebagai identitas kepastian hukum untuk memenuhi persyaratan mengurus berbagai pelayanan masyarakat, seperti masuk sekolah, pembuatan kartu keluarga dan paspor, serta melamar pekerjaan.
Tidak ada pengecualian, apakah itu anak dari hasil perkawinan siri yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), hasil perselingkuhan atau hidup bersama tanpa nikah (semen leven) serta anak temuan yang tidak diketahui siapa bapak dan ibu biologisnya.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Purba Hutapea menegaskan pada prinsipnya setiap bayi yang lahir dan hidup di dunia ini berhak mendapatkan surat akte kelahiran yang dapat digunakan sesuai ketentuan dan suadah berlaku secara nasional.
“Pada prinsipnya setiap anak berhak mendapatkan akte kelahiran, sesuai status kelahiran anak tersebut yaitu anak suami-istri dari pernikahan resmi tercatat di KUA, berstatus anak ibu atau anak di luar nikah, yang ini sudah berlaku secara nasional,” katanya menjawab Bisnis hari ini.
Menurutnya, perundangan yang ada mengatur ada tiga status anak yaitu anak dari pasangan suami-istri yang memikah di hadapan KUA atau lembaga resmi negara sehingga memiliki buku nikah yang sah.
Selanjutnya, anak dengan status sebagai anak ibu yang terlahir dari hasil hubungan pasangan nikah siri atau yang tidak dicatatkan di KUA serta status anak di luar nikah yaitu untuk anak temuan yang tidak diketahui siapa bapak- ibunya dan biasanya dirawat di panti-panti asuhan.
Mereka semua, sebagai anak yang lahir ke dunia atas kehendak Tuhan itu berhak untuk mendapatkan akte kelahiran yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil sebagao identitas kepastian hukum dan alat perlindungan hukum bagi anak tersebut.
Adapun prosedur untuk mendapatkan legalitas berupa akte kelahiran itu relatif mudah sesuai mekanisme dan persyaratan yang sudah berlaku selama ini secara nasional, sehingga tidak ada hal baru terkait dengan akte kelahiran tersebut dan pemanfaatannya.
Namun, surat akte kelahiran tidak serta merta dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menuntut hak waris bagi pemiliknya, terutama anak yang bersetatus sebagai anak ibu atau anak di luar nikah, karena harus diproses melalui pengadilan.
Purba mengatakan bayi yang dilaporkan ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI akan terdaftar dalam kartu keluarga dan diberikan nomor induk kependudukan sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya.
Sebagai hasil dari pelaporan kelahiran tersebut akan dicantumkan dalam kartu keluarga dan diterbitkan akta kelahiran.
Untuk mendapatkan akte tersebut harus memenuhi persyarakat yang dapat diperoleh di semua kantor kelurahan terdekat.
Bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Ternyata, untuk anak yang dilahirkan dari pasangan yang tidak menikah di hadapan KUA atau kantor catatan sipil, baik itu nikahan siri secara agama atau hubungan di luar nikah banyak kesulitan untuk mendapatkan akte kelahiran.
Alasan pihak petugas yang mengurus akte kelahiran, karena orang tua dari anak itu tidak bisa menunjukkan buku nikah dari ayah-ibu biologisnya, surat keteranga lahir dari desa atau kelurahan, surat keterangan dokter atau bidan, rumah sakit yang membantu proses kelahiran.
Namun, jika akte kelahiran bisa didapat, maka statusnya adalah anak ibu sesuai Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 43 ayat 1 menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi maka hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi pasal itu kemudian merevisi dengan menambahkan kalimat:..serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Dengan demikian status hukum anak hasil pernikahan siri bukan hanya sebagai anak ibu dan keluarga dari ibunya, tetapi secara perdata juga menjadi anak dari laki-laki yang terbukti sah menjadi bapak biologisnya.
Purba tidak bersedia memberikan jewaban ketika ditanya mengenai aplikasi hasil revisi Undang-Undang No.1/1074 tentang Perkawinan pada pasal 43 tersebut. “Masalah undang-undang itu bertanyanya ke Mendagri saja, kami tidak masuk ranah hukum,” ujarnya. (sut)