Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APBD DKI 2015: Kampungan, Modus Titip Anggaran oleh Dewan

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang berpendapat modus memasukkan anggaran titipan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah hampir terjadi tiap tahun.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (tengah) bersama Wakil Ketua Abraham Lunggana (kiri), Muhammad Taufik (kedua kiri), Triwisaksana (kedua kanan) dan Ferrial Sofyan (kanan) mengangkat tangan usai memimpin rapat paripurna di Jakarta, Kamis (26/2)./Antara
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi (tengah) bersama Wakil Ketua Abraham Lunggana (kiri), Muhammad Taufik (kedua kiri), Triwisaksana (kedua kanan) dan Ferrial Sofyan (kanan) mengangkat tangan usai memimpin rapat paripurna di Jakarta, Kamis (26/2)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA-- Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang berpendapat modus memasukkan anggaran titipan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah hampir terjadi tiap tahun.

"Faktanya sudah menunjukkan demikian, tapi dari periode ke periode modusnya berbeda," kata Sebastian dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/3/2015).

"Makin ke sini makin canggih polanya."

Sebastian menilai modus anggaran titipan yang dilakukan oleh anggota DPRD DKI Jakarta dinilai kampungan. Berbeda dengan yang dilakukan oleh DPR.

"Di daerah cenderung lebih jorok mainnya, kalau di DPR modusnya memainkan di penerimaan negara saja," ujarnya.

Sebastian mencontohkan di suatu daerah yang enggan dia sebutkan namanya, ada seorang bupati yang bersekongkol secara terang-terangan dengan DPRD. Caranya, yaitu dengan memberikan jatah alokasi anggaran infrastruktur kepada anggota DPRD untuk disalurkan ke daerah pemilihannya masing-masing.

"Tapi anggaran untuk infrastrukturnya itu tanpa disertai dengan konsep perencanaan pembangunan," kata Sebastian.

"Jadinya ya sama saja pembangunan tidak terjadi secara nyata."

Sedangkan di DPR, modusnya berbeda lagi. Menurut dia, di DPR lebih memainkan anggaran pendapatan negara. Misalnya, kata Sebastian, meminta jatah kepada Badan Usaha Milik Negara ketika pemerintah mengumumkan hasil penerimaan negara.

"Makanya waktu itu pernah ada kasus, hasil pendapatan negara tiba-tiba bertambah sebesar Rp30 triliun tanpa ada alasan yang konkret."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Nancy Junita
Sumber : Tempo.co
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper