Bisnis.com, JAKARTA – Masjid Jami Al-Anwar atau masjid Angke di Tambora mencerminkan cerita masa lalu, terutama tentang keragaman dan kebinekaan.
Gaya arsitektur masjid yang dibangun pada 1761 itu kental dengan perpaduan budaya China, Jawa, Bali, dan Eropa yang tampak pada sejumlah eksterior maupun interiornya.
Ragam budaya yang menyatu dalam bangunan arsitektur tersebut menjadi cerminan kehidupan masyarakat ketika itu. Perbedaan suku dan budaya kemudian menyatu dan tertuang dalam bangunan bersejarah yang pada 10 Januari 1972 ditetapkan sebagai cagar budaya dan kini dalam proses restorasi.
Kisah singkat masjid Angke itu dituturkan oleh Muhammad Abiyan Abdillah, turunan kedelapan ulama yang mendiami kompleks masjid dan berasal dari keluarga Kesultanan Banten.
Sebagai Pengurus Bidang Sejarah dan Bangunan Masjid Al-Anwar, Abiyan menuturkan bahwa ciri khas Masjid Angke tak hanya menyoal arsitektur belaka.
Pintu utama sarat dengan nuansa akulturasi. Sentuhan Jawa dan Bali tampak pada pintu kayu yang tinggi. Pada bagian sisi kanan dan kiri lis pintu itu terdapat tepian ukiran berupa ornamen sulur bunga. Bagian atas pintu di sisi dalam terdapat kaligrafi ayat suci, sedangkan bagian luarnya terpatri ukiran.
Inti bangunan ditopang oleh empat tiang penyangga utama atau yang disebut saka guru, merupakan khas rumah adat China dan Jawa. Desain atapnya berupa dua undakan yang menjadi salah satu khas bangunan kerajaan Islam di Tanah Jawa. Konseptor masjid tersebut adalah Syaikh Liong Tan, arsitek keturunan Tionghoa.
Masjid yang terletak di jalan Tubagus Angke, Gang Masjid Nomor 1, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini juga menyimpan sejarah yang terus berupaya dikumandangkan melalui pesan murni keberagaman. Selain tempat syiar, masjid ini juga diperkirakan menjadi pusat pelatihan strategi perang pada masanya.
“Kami [masyarakat setempat] meyakini dengan keanekaragaman itu justru menggambarkan bermacam-macam etnis yang mendiami kampung Angke. Ada toleransi yang sangat tinggi. Jadi, ini gambaran kerukunan sudah tercipta sejak dahulu,” ceritanya.
Ujung pada atap menjadi kunci utama bangunan masjid ini, yang ditunjukkan dengan detail mestaka sebagai simbol kerukunan. “Artinya, dengan keanekaragaman yang ada pada ornamen dan bangunan di bawahnya, mengerucut menjadi satu, diikat dengan kerukunan dalam wujud mestaka. Itu pesan moral masjid ini,” katanya.
Lebih lanjut, pada masa Pangeran Tubagus Angke berkuasa di wilayah Jayakarta sekira abad ke-18, bangunan tersebut berupa langgar dan tempat transit penyiar agama Islam dari berbagai wilayah seperti Jawa Timur, Banten, dan Cirebon sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah lain. Secara tidak langsung masjid ini pun menjadi pusat penyebaran Islam di Batavia.
Meskipun menyimpan sejarah dan arsitektur yang menarik, masjid ini tidak banyak diketahui oleh publik. Awalnya, cerita Abiyan, masjid tersebut tertutup oleh bangunan lain.
Letaknya pun berada di tengah-tengah permukiman dengan bangunan yang telah beberapa kali direnovasi. Dinding masjid sempat tertempel keramik dan bagian tangga di pintu masuk sempat diuruk tanah.
MEMILAH
Untuk mengembalikan sisa-sisa keaslian dari Masjid Angke, pada 2017 muncul upaya untuk melakukan restorasi, pemugaran tempat bersejarah mendekati semula.
Pada restorasi awal, masjid dengan luas 15 x 15 meter persegi itu hanya melalui proses perbaikan pada beberapa sisi saja, khususnya atap atau plafon karena telah mengalami kebocoran.
Abiyan mengatakan, restorasi besar bangunan inti dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan pihak pengelola cagar budaya, yakni Lingkar Warisan Kota Tua. Upaya mengembalikan bangunan cagar budaya mendekati aslinya menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah.
“Kami harus mendapatkan izin restorasi ini. Lalu dari segi material pun harus mendapatkan bahan yang mendekati sama atau sejenis dengan bahan yang sudah ada. Jadi tidak sembarangan,” lanjutnya.
Arsitek Yori Antar yang tergabung dalam wadah Lingkar Warisan Kota Tua ikut andil dalam upaya restorasi Masjid Angke. Pemilik julukan Pendekar Arsitektur Nusantara itu membenarkan bahwa material menjadi kendala utama dalam proses restorasi, khususnya material untuk menggantikan kayu yang telah lapuk dimakan zaman.
Menurut dia, mencari material kayu jati yang berkualitas juga tidak mudah. Apalagi material tersebut harus mendekati sama atau paling tidak menyerupai kayu jati yang masih terpasang sebagai penyangga atap, pintu masjid, juga ornamen.
“Kadang kami menemukan sambungan kayu yang sudah keropos, kami harus membahas dulu, apakah kayu harus diganti total atau tambal sulam. Namun pada intinya, di dalam restorasi itu tidak semuanya baru,” jelasnya.
Tujuan utama dalam sebuah restorasi cagar budaya adalah mengembalikan bentuk dan karakter asli pada bangunan. Untuk itu, lanjutnya, proses utama yang dilakukan adalah menghilangkan bangunan tambahan yang ada di sekitar masjid, ataupun material tambahan yang tidak termasuk dalam bagian sejarah masjid Angke.
Misalnya saja, langkah memindahkan bangunan sekolah yang sebelumnya terbangun di halaman masjid dan menutup wajah tempat ibadah itu. Kemudian pada bangunan inti, kata Yori, paling krusial adalah melakukan perbaikan bagian atap.
Proses restorasi kemudian melakukan pembongkaran plafon pada atap sehingga sulur-sulur reng dan usuk pada atap joglo tampak kembali dan menghadirkan kelegaan ruangan. Upaya tersebut juga berdampak baik pada sirkulasi udara mengingat ruangan masjid juga tidak begitu luas.
Pada restorasi kali ini, Yori mengupayakan terlihatnya keaslian serat-serat kayu pada bangunan tersebut untuk menciptakan nilai seni.
Sementara itu, sebagai upaya untuk memperkuat karakter masjid bagian dalam, dia menambahkan unsur pencahayaan pada beberapa sudut ruangan.