Bisnis.com, JAKARTA – “Kalau saya ya, saya sih tidak mau kebanyakan protes. Bisa buka saja sudah alhamdulillah,” kata Warmin (45) kepada Bisnis Jumat (30/7/2021).
Warmin adalah pemilik salah satu warung tegal (warteg) di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Kalimat di atas dia lontarkan sebagai jawaban ketika dimintai respons terkait kebijakan pemerintah yang membatasi dine-in di warung makan maksimal 20 menit per pelanggan.
Bagi Warmin, protes tidak artinya karena dia pun menyadari kebijakan pembatasan sosial ditempuh demi kepentingan kesehatan bersama.
Sudah setahun lebih pahit getir finansial melanda bisnis Warteg milik Warmin. Sepanjang 2020, Warmin mengklaim omzetnya saban hari turun rata-rata 70 persen. Oleh karenanya, ketika mendengar vaksin sudah mulai disuntikkan dan pembatasan sosial direlaksasi pada awal tahun ini, dia lega bukan kepalang.
Namun, melonjaknya kasus Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir yang berimbas pada penerapan PPKM Darurat membuat Warmin gelisah lagi.
“Bersyukurnya, tahun lalu sudah mengalami kondisi yang lebih buruk. Jadi sekarang harapan saya enggak tinggi-tinggi; enggak muluk-muluk. Cukup bisa buka [warteg] saja, dan bisa bayar biaya hidup sehari-hari sudah puas,” imbuhnya.
Kini, di tengah pemberlakuan PPKM Level 4 di ibu kota, Warmin berkata bahwa dirinya sudah semakin menguasai kunci mempertahankan bisnisnya di tengah pasang surut jumlah pelanggan.
“Sebenarnya sekarang intinya itu soal manajemen. Jadi harus bisa mengukur hari ini belanja dan masak berapa. Setiap hari itu [jumlah pelanggan] bisa berubah-ubah, tapi intinya belanja dan masaknya jangan sampai kebanyakan, tapi jangan sampai kurang juga,” kata dia.
Warmin memberikan contoh ilustrasi soal perbedaan pelanggan di hari Rabu atau hari kerja dan hari Sabtu.
Biasanya, pelanggan baik yang dine-in maupun take home (dibungkus) lebih banyak pada hari-hari kerja termasuk Rabu. Sementara pada Sabtu, kondisi bisa bertolak belakang.
“Orang kalau libur kan gitu, pengennya makan yang mewah-mewah. Jadi pada jarang ke sini,” tambahnya.
Perubahan situasi, kata Warmin, juga bisa dipengaruhi tren jumlah kasus Covid-19.
Dalam sepekan terakhir contohnya, adanya pelandaian jumlah kasus harian Covid-19 mempengaruhi jumlah pesanan makanan di wartegnya.
“Enggak melulu angka [kasus] juga kan tapi, faktornya. Kadang meski Covid-19 [di Jakarta] tambah sedikit, tapi tetangga sekitar sini ada yang meninggal, orang-orang jadi parno juga dan pilih masak sendiri di rumah masing-masing,” imbuhnya.
Warmin rupanya bukan satu-satunya.
Ida (39), pemilik warteg lain di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan juga merasakan hal serupa.
Menurut Ida, tren pembeli di wartegnya sejak pandemi memang menurun. Namun, kadang ada saja hari-hari pembeli meningkat.
“Kalau [pembeli] naik faktornya bisa banyak. Misalnya contoh kalau kantor-kantor di sekitar sini banyak aktivitas, pelanggan ya lumayan. Tapi kalau libur sudah pasti sepi,” tuturnya.
Seperti Warmin, Ida juga relatif mengakali fluktuasi pembeli dengan manajemen pengeluaran.
Ketika ada indikasi aktivitas perkantoran di sekitar wartegnya membaik, Ida biasanya belanja bahan makanan dan memasak lebih banyak.
Lalu, selain manajemen logistik, Ida juga melakukan sejumlah penyesuaian pada jenis menu.
Belakangan, karena ada pembatasan jam operasional sejumlah industri misal, Ida menyadari wartegnya cenderung ramai hingga maksimal pukul 13.00 WIB saja. Untuk itu, dia lebih banyak memasak menu-menu yang lezat disantap pada siang hari.
“Biasanya karena ramai siang, jadi masaknya lebih banyak menu-menu sayur berkuah seperti sop. Menu selain makan siang tetap masak, tapi alokasinya tidak banyak,” sambungnya.
Bagi Ida sekarang, tidak ada lagi harapan selain kondisi perekonomian yang lebih membaik.
Ida juga berterus terang bahwa dirinya tidak mau bergantung banyak pada program-program bantuan sosial dari pemerintah. Menurutnya, lebih baik bisnisnya membaik dan mendapat uang dari keringat sendiri daripada meminta pada pemerintah.
“[Soal bantuan sosial] saya percaya kalau rezeki itu sudah ada yang atur. Jadi, buat saya yang penting fokus kerja saja sambil tetap berhati-hati supaya tidak tertular [Covid-19]. Tidak ada pengharapan pada yang lain-lain.”
Bisnis warteg memang menjadi salah satu yang dikhawatirkan mengalami pukulan parah akibat kebijakan PPKM Darurat pemerintah.
Saking pentingnya segmen tersebut, pemerintah sampai berencana mengalokasikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) khusus pagi pengusaha warteg dan pedagang kaki lima (PKL) dengan alokasi Rp1,2 juta per orang.
“Pemerintah menyiapkan insentif usaha mikro yang besarnya Rp 1,2 juta. Ini setara dengan bantuan BPUM yang jumlahnya (untuk) 3 juta (pelaku usaha) di mana yang Rp 1,2 juta untuk 1 juta usaha mikro kecil, antara lain warung, warteg, PKL,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers Rabu (21/7) pekan lalu.
Konon, mengacu data terkini yang dipaparkan Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), sejak pandemi sekitar 25.000 bisnis warteg di kawasan Jabodetabek gulung tikar. Angka tersebut setara 50 persen dari jumlah bisnis warteg di Jabodetabek yang ditaksir mencapai 50.000.
Ketua Kowantara Mukroni, secara spesifik, menilai pemerintah perlu melakukan sejumlah kajian.
Selain kucuran insentif, menurutnya aturan soal dine-in maksimal 20 menit juga perlu ditinjau ulang. Sebab, aturan ini sangat tidak ramah untuk kalangan usia tua dan pada ujungnya bisa membuat pemulihan kinerja bisnis-bisnis warteg tersendat.
"Yang makan di warteg kan tidak hanya anak kecil dan anak muda, tapi ada orang tua juga. Orang tua kan makannya pelan-pelan. Kalau disuruh buru-buru bisa tersedak," kata Mukroni seperti dilansir Antara Senin (26/7).
Mukroni mendukung penuh kebijakan pembatasan jumlah pengunjung. Namun, dia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pembatasan jam operasional hingga pukul 20.00 WIB dikaji ulang.
Bagi Mukroni, justru tidak masalah bila dine-in sepenuhnya dilarang asalkan pembatasan jam dihilangkan.
"Kalau mau larang saja, atau tidak ada makan di tempat, hanya boleh pesan antar. [Asalkan] tidak perlu dibatasi waktu," imbuhnya.
Saat ditanyai mengenai saran tersebut, baik Warmin maupun Ida sama-sama mengaku akan senang bila jam operasional tidak dibatasi. Meskipun, nantinya bisa saja pengunjung dine-in akan dilarang 100 persen.
“Sedangkan kalau untuk batasan jumlah pengunjung, kami tahu bahwa itu tujuannya baik, jadi tidak masalah. Hanya memang benar bahwa bila batasan jam itu dihapus, akan sangat membantu kami,” tutur Warmin.
Walau demikian, pada akhirnya tetap saja Warmin mengaku pasrah. Asalkan ada jaminan bahwa pandemi segera berakhir dan bisnisnya segera pulih, Warmin siap melakukan apa saja.
Hal yang sama juga diungkapkan Ida, yang sampai sekarang masih percaya bahwa mengakhiri pandemi adalah satu-satunya jalan keluar bagi perekonomiannya.
“Kami hanya bisa pasrah, dan berusaha semaksimal mungkin,” kata Ida.