Bisnis.com, JAKARTA — Kendaraan konvensional dinilai menjadi salah satu penyumbang polusi terbesar terhadap Udara Jakarta. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI pun menghimbau masyarakat untuk beralih ke kendaraan publik.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh 50 persen penyumbang polusi udara Jakarta. Pemprov DKI tidak mampu jika harus bergerak sendiri untuk mengurangi tingkat polusi ini, sehingga harus dibantu oleh masyarakat.
“Kalau dihitung-hitung 50 persen penyumbang polusi dari transportasi, jadi kalau hanya DKI sendiri tidak kuat, DKI sekuat apapun polusi itu tetap ada kalau tidak bersama-sama,” ujar Heru di Gedung Inspektorat Jenderal Kemendagri, Kamis (10/8/2023).
Dia melanjutkan, berbagai upaya sudah dilakukan oleh Pemprov DKI untuk mengurangi kualitas buruk udara Jakarta, salah satunya adalah mengajak masyarakat untuk beralih ke transportasi modal umum, seperti kereta umum dan LRT.
“Gini, Konsep DKI sudah jelas, kita menggalakkan transportasi moda umum, kereta umum, LRT, dan lainnya. Namun, ini juga harus sama-sama dengan kebijakan pemerintah pusat untuk kebijakan mengatasi polusi udara,” jelasnya.
Tidak hanya menggalakkan transportasi umum, namun Pemprov DKI juga terus menambah ruang terbuka hijau, dan melakukan penanaman pohon di taman-taman Jakarta. Upaya ini dilakukan untuk membantu mengurangi kualitas buruk udara Jakarta.
Baca Juga
“Kita tiap minggu ada penambahan ruang terbuka hijau, di setiap kelurahan menambah ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau yang sekarang dirawat termasuk media tanam pohon,” jelasnya.
Pada kesempatan yang berbeda, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta juga mengimbau pabrik-pabrik yang beroperasi di Jakarta untuk menggunakan bahan bakar gas dalam rangka mengurangi polusi udara.
“Untuk pabrik-pabrik yang masih menggunakan bahan bakarnya dari batu bara diganti dengan gas, ini kan bisa, ketimbang dipindah lokasikan,” ujar Kepala DLH DKI Asep Kuswanto kepada wartawan.
Dengan demikian, tidak boleh ada lagi pabrik-pabrik di Jakarta yang masih menggunakan batu bara atau kayu sebagai bahan bakarnya.
Disamping itu, dia juga memandang pabrik yang ada di Jakarta tidak perlu direlokasi karena memiliki nilai investasi yang tinggi dan membantu pertumbuhan ekonomi Jakarta.
“Bagaimanapun juga pabrik itu mempunyai nilai investasi dan ekonomi untuk pertumbuhan ekonomi Jakarta,” jelasnya.