Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta untuk melakukan verifikasi dokumen pasangan calon Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Terbuka peluang pencalonan keduanya dibatalkan.
Peneliti Elsam Parasurama mengatakan pengumpulan syarat pencalonan dengan melawan hukum merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan. KPU seharusnya membatalkan pencalonan pasangan Dharma dan Kun Wardana.
“Mestinya mulai ada penjajakan terhadap kemungkinan untuk membatalkan pencalonan kepada siapapun yang melakukan pengumpulan syarat dengan cara melawan hukum,” kata Parasurama kepada Bisnis, Jumat (16/8/2024).
Parasurama juga mempertanyakan keseriusan proses verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU Jakarta atas KTP Elektronik. Jika KPU DKI melakukan verifikasi secara serius, seharusnya kedua pasangan tidak lolos verifikasi.
“Kalau misal hasil dari verifikasi faktual menganggap mereka lolos, ini tetap dapat dibatalkan dengan membawa ke sengketa administrasi Pilkada,” kata Parasurama.
Sebelumnya, dugaan pencatutan KTP warga terjadi dalam pencalonan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 mencuat.
Baca Juga
Pada 19 Juni, pasangan calon ini telah menyerahkan 1.229.777 dukungan dan hanya 447.469 dukungan yang terverifikasi melalui Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Sementara itu, 782.308 sisanya dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Percobaan selanjutnya pada 25 Juli 2024, calon kandidat menyerahkan 721.221 KTP-el dari jumlah minimal yang dipersyaratkan sebanyak 618.968. Namun dalam proses verifikasi faktual, hanya 183.043 KTP yang dinyatakan memenuhi syarat.
Dalam proses verifikasi faktual kedua, dukungan sebanyak 826.766 kepada calon tersebut dinyatakan lolos administrasi dan terdapat 494.467 dukungan yang dinyatakan memenuhi syarat.
Jumlah hasil verifikasi faktual pertama sebanyak 183.043 KTP-el ditambah 498.467 KTP el pada verifikasi faktual kedua membuat pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi dukungan minimal.
Berdasarkan Surat Keputusan KPU RI No. 532/2024, KPU melakukan verifikasi terhadap dokumen syarat dukungan yang diserahkan dan diinput oleh pasangan melalui SILON (Sistem Informasi Pencalonan).
Verifikasi administrasi ini dilakukan dengan mencocokan kebenaran dokumen dukungan masing-masing pendukung yang dilampiri dengan fotokopi KTP-el atau surat keterangan berupa biodata penduduk atau dokumen kependudukan lainnya yang sah dan surat pernyataan identitas pendukung.
Proses ini juga berusaha melihat kesesuaian antara nama, nomor induk kependudukan, jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, dan status perkawinan pendukung.
Verifikasi administrasi kemudian ditindaklanjuti melalui verifikasi faktual (verfak) yang dilakukan dengan metode sensus.
Parasurama mengatakan surat Keputusan KPU No. 532/2024 pelaksanaan verifikasi faktual dengan metode sensus.
Dalam proses ini, KPU sebenarnya dapat meminta anggota keluarga pendukung atau masyarakat setempat untuk bertanda tangan sebagai saksi pada lembar kerja PPS, jika pada saat verifikasi faktual, pendukung menyatakan tidak memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan.
Dalam melakukan berbagai proses dan tahapan tersebut, semestinya KPU juga memperhatikan kewajiban pelindungan data pribadi, sebagaimana diatur oleh UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), karena berkaitan dengan pemrosesan data pribadi dari subjek data–warga negara.
Berdasarkan situasi tersebut, Elsam menilai terdapat pelanggaran pelindungan data pribadi yang dilakukan pasangan calon Dharma Pongrekun dan Kun Wardana karena diduga telah melakukan pemrosesan data yang bukan miliknya secara melawan hukum.
Pemrosesan KTP-el yang dilakukan untuk tujuan pencalonan memerlukan dasar hukum pemrosesan berupa persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi (calon pendukung) atas tujuan kandidasi calon tertentu (Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP).
Untuk meminta persetujuan ini, pasangan calon harus menjelaskan menjelaskan tujuan pemrosesan data, jenis data apa saja yang akan diproses, jangka waktu retensi dokumen, rincian informasi yang dikumpulkan. Dugaan pencatutan tersebut mengindikasikan bahwa data diproses tanpa persetujuan apapun dari subjek data.
Bahkan dalam UU PDP, tindakan tersebut merupakan bagian yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan Pasal 65 (1) UU PDP menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
“Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Rp5 miliar metr(Pasal 67 (1) UU PDP). Selain itu, ketentuan Pasal 95 UU Administrasi Kependudukan mengatur larangan tanpa hak mengakses database kependudukan, yang diancam pidana penjara 2 tahun dan denda 25 juta rupiah,” kata Parasurama.