Bisnis.com, JAKARTA - Selepas membetulkan ban depannya, Mohamad Tarin (56) bergegas naik ke dalam Metro Mini. Dia lantas duduk mengarahkan pandangannya ke sebuah bangunan. Bagi dia bangunan itu sebuah momok. Di sana, nasib kendaraannya ditentukan. Boleh beroperasi atau tidak.
Saat itu, Tarin memang sedang menunggu kepastian. Sejak ditahan Jumat (18/12) lalu, dia terpaksa menginap di Terminal Rawa Buaya, Jakarta Barat. Terminal ini kini mirip tempat penampungan angkutan umum bermasalah. Sepanjang mata memandang, deretan kendaraan berjajar tak beraturan, sebagian besar metro mini.
“Saya menunggu kepastian kapan kendaraan saya bisa keluar dari sini. Kalau masih nggak jelas, mending saya pulang,” keluhnya, Rabu (23/12/2015).
Sebagai sopir yang makan asam garam dunia jalanan ibu kota, Tarin merasa saat ini merupakan titik nadir pekerjaannya sebagai sopir Metro Mini. Penghasilan semakin tak tentu, sedangkan biaya operasional terus melambung.
Situasi makin pelik, ketika metro mini banyak terbelit kasus kecelakaan yang mengorbankan banyak nyawa. Kecelakaan terakhir yang terjadi di perlintasan kereta Angke, Jakarta Barat, menewaskan 18 penumpang dan seorang pejalan kaki.
“Situasi menjadi semakin sulit, terutama setelah peristiwa kecelakaan kemarin. Semua mata seolah menuju kepada kami. Pemerintah juga tak memberikan kami nafas. Mereka langsung merazia dan membuat kami ketakutan untuk mencari nafkah,” ungkapnya.
Sebelum rentetan kecelakaan yang melibatkan Metro Mini, peruntungan Tarin masih lumayan meskipun pas-pasan. Dalam sehari, setelah dikurangi uang bensin Rp200.000 dan setoran Rp320.000, dia bisa membawa pulang uang Rp150.000, bahkan dua kali lipat.
Setelah kecelakaan itu, semuanya berubah. Pria asal Magelang, Jawa Tengah ini hanya membawa pulang Rp75.000. Malah kadang-kadang masih harus nombok untuk membeli bahan bakar. “Tetapi saya tidak bisa berbuat banyak. Itu aturan pemerintah. Pasrah sajalah,” keluhnya lagi.
Tarin tak sendiri, ada ratusan pengemudi lain yang bernasib sama. Salah satunya Roi (29), sopir metro mini t rayek Ciledug – Blok M. Sejak usia 20 tahun, dia telah mengemudikan moda transportasi dalam kota itu.
Pendapatannya sehari-hari sebesar Rp900.000. Setelah dipotong biaya bahan bakar dan setoran, dia bisa membawa pulang Rp200.000 ke rumah. Roi tak memungkiri banyak sopir Metro Mini yang ugal-ugalan. Bahkan, diapun pernah mengalami pengalaman buruk terkait ugal-ugalan ketika memulai pekerjaannya itu.
Metro mini yang disopirinya menyerempet sepeda motor hingga terjatuh. Pengendara sepeda motor itu tak terima. Roi nyaris mati dihakimi massa. Roi mengakui perilaku ugal-ugalan terkadang sulit dikontrol. Tekanan kebutuhan dan setoran membuatnya harus berpacu dengan waktu. “Kami harus bersaing dengan yang lain. Kami butuh makan. Kalau tidak, istri dan bos bisa ngomel karena setorannya tak terpenuhi,” jelasnya.
Mengenai pemeliharaan, dia rutin merawat kendaraannya itu. Dalam sebulan, dia dua kali mengganti oli mesin. Itu belum termasuk perawatan untuk kerusakan yang bersifat insidentil. Namun demikian, jika masyarakat menginginkan perawatan yang mirip kendaraan pribadi, dia angkat tangan. “Ongkos perbaikan sekarang mahal, setoran tinggi, sedangkan penghasilan kami segitu. Perawatan ada, tetapi memang ala kadarnya,” jelas dia.
Oleh karena itu, Roi bersemangat saat mendengar rencana peremajaan angkutan umum oleh pemerintah. Dia sudah bosan dengan kondisinya saat ini. Dia berharap paling tidak setelah revitalisasi, kendaraannya menjadi lebih baik. Roi juga tidak perlu dikejar-kejar petugas.
Namun, dia berharap Dishubtrans DKI Jakarta tidak diskriminatif. Semua kendaraan umum yang dianggap tidak layak harus diremajakan. “Jangan hanya metro mini,” ujarnya. Meski sering membahayakan jiwa penumpang, metro mini masih menjadi andalan bagi sebagian warga Ibu Kota.
Urip Erniyati (52) mengaku masih setia menggunakan metro mini. Baginya, metro mini merupakan moda transportasi yang praktis dan murah, hanya Rp4.000 per satu kali jalan. “Memang ada layanan transportasi lainnya. Cuma untuk [orang] seumuran saya, kalau disuruh menggunakan Go-Jek tidak bisa,” katanya.
Setia bukan berarti lepas dari was-was. Meskipun setia menggunakan metro mini, Urip tak memungkiri kekhawatiran saat menumpang angkutan tersebut. Hal itu terutama karena sikap sebagian besar pengemudi yang sering ugal-ugalan.
Dia berharap, jika kelaka pemerintah menghapus metro mini, transportasi pengganti lebih nyaman dan tetap murah. “Jangan sampai nanti setelah semuanya diperbaiki, justru mahal dan tak terjangkau oleh penumpang,” imbuhnya. (Adam Nurmansyah, Asteria Desi Kartikasari, Muhamad Khadafi, Edi Suwiknyo, & Dewi Aminatus Z.)