Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Reklamasi Teluk Jakarta: Tanpa Revisi UU Ini, Reklamasi Sulit Dibendung

Reklamasi teluk Jakarta tak akan terbendung apabila UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan atas wilayah laut tidak direvisi.
Aktivitas proyek pembangunan salah satu pulau kawasan reklamasi teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Selasa (5/4/2016)./Antara
Aktivitas proyek pembangunan salah satu pulau kawasan reklamasi teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Selasa (5/4/2016)./Antara

Bisnis.com, BOGOR - Meski saat ini ada kesepakatan penghentian sementara, proyek reklamasi pada akhirnya sulit dibendung jika undang-undang yang ada tidak direvisi.

Berdasar hasil kajian Konsorsium Center for Ocean Development and Maritime Civilization dan Small Island Network, reklamasi teluk Jakarta tak akan terbendung apabila UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan atas wilayah laut tidak direvisi.

"Jika UU ini berlaku definitif Januari 2017, otomatis reklamasi bakal berjalan tanpa ada yang menghentikannya," kata Muhammad Karim dari Center for Ocean Development and Maritime Civilization, di Bogor, Senin (18/4/2016).

Ia mengatakan, persoalan reklamasi teluk Jakarta tidak hanya pada tumpang tindih dan konflik tiap perizinan semata. Hal paling pokok yang terlupakan adalah UU Nomor 23 Tahun 2014.

Dijelaskannya, dalam undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan soal laut diberikan kepada pemerintah kota/kabupaten.

"Tetapi kini dengan undang-undang baru, kewenangan diberikan kepada pemerintah provinsi," katanya.

Menurut Karim, meski bahasa kewenangan disentralisasikan, sejatinya kembali menjadi sentralistik karena posisi gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Undang-undang tersebut berpotensi mempermudah kewenangan izin reklamasi, pengurusan maupun pembangunan Sea wall di teluk Jakarta.

"Karena ada klausul dalam undang-undang tersebut yakni semua undang-undang sektoral mesti menyesuaikan UU ini," katanya.

Lebih lanjut Karim mengatakan, lahirnya UU Nomor 23/2014 diduga sebagai metamorfosis dari Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWP3K) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Artinya, pemda yang berkepentingan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau awalnya gagal melalui UUPWP3K, kini masuk melalui undang-undang tentang pemerintah daerah ini," katanya.

Ia mengatakan, undang-undang sektoral seperti UUPWP3K, UU pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup tidak bisa menghentikan reklamasi teluk Jakarta karena harus menyesuaikan dengan UU Nomor 23/2014, jika tidak direvisi.

Sementara itu, Ahmad Mony dari Small Islands Network melihat hal paling pokok yang terjadi dengan reklamasi teluk Jakarta dan penggusuran masyarakat nelayan yakni dampak ekonomi dengan hilangnya daerah penangkapan ikan bagi nelayan yang mengoperasikan alat tangkap payang, dogol, bubu, gilnet dan budidaya kerang hijau (Perna veridis) yang diperkirakan mencapai 1.527,34 hektar.

"Dampak lain, hilangnya manfaat ekonomi dan kegiatan perikanan tangkap senilai Rp314,5 miliar yang bersumber dari perikanan gilnet," katanya.

Dampak yang paling utama dirasakan oleh nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas perikanan tangkap yakni penurunan kontribusi lapangan usaha perikanan dalam perekonomian Jakarta Utara.

Menurutnya, pada tahun 2006-2012 telah terjadi penurunan dari 0,10 persen menjadi 0.8 persen. Padahal, kegiatan tersebut menyediakan lapangan kerja bagi 30 ribu orang dari berbagai kelompok masyarakat dan meningkatnya kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Tahun 2013 jumlah penduduk miskin di Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tertinggi di banding daerah lain di provinsi tersebut yakni 93.400 atau 25% dari total kemiskinan di DKI Jakarta yang berjumlah 373.613 jiwa.

Data ini diperkuat tingkat kedalaman kemiskinan Kepulauan Seribu dan Jakarta Utara reratanya masing-masing 1,128 dan 0,824 lebih tinggi dari DKI yakni 0,514. Sedangkan, tingkat keparahan kemiskinannya masing-masing 0,23 dan 0,22 lebih tinggi dari DKI yakni 0,128.

"Kesejahteraan nelayannya pun merosot dengan nilai tukarnya kurang dari 100 akhir 2015. Artinya nelayan teluk Jakarta sudah jatuh tertimpa tangga pula," katanya.

Kondisi ini, lanjut Ahmad, dalam kaca mata ekonomi regional disebut back wash effect. Yaitu suatu kondisi di mana wilayah-wilayah yang maju menciptakan keadaan yang menghambat dan mengorbankan wilayah-wilayah terbelakang.

"Hal ini terbukti reklamasi telah mengorbankan nelayan tradisional yang miskin. Selain itu, eksploitasi pasir laut untuk bahan urugan dari Banten, sehingga berdampak ganda karena lokasi pengambilannya di pesisir Banten," katanya.

Ia menambahkan, dampak ekologi yang paling parah adalah berubahnya struktur ekosistem pesisir yang akan mengubah kelimpahan makrozoobentus dan juga kawasan lindung hutan mangrove akan terancam. Di mana seluas 242,97 hektare jadi nursery dan fishing ground ikan.

"Imbasnya, 'metabolisme alam' di kawasan pesisir teluk Jakarta akan terganggu. Imbas lanjutannya bakal memperparah kerusakan ekologi dan tingkat trofik makanan di pesisir," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper