Bisnis.com, JAKARTA- Realisasi investasi asing dan dalam negeri di DKI pada semester pertama tahun ini tembus hingga 88,36% atau mencapai Rp48,6 triliun dari target Rp55 triliun.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta Edy Junaedi mengatakan realisasi investasi hingga triwulan II/2017 tersebut meningkat 63,1% dari periode yang sama tahun lalu Rp29,8 triliun.
"Ya target kita tinggal sedikit lagi untuk tembus Rp55 triliun. Kita optimistis tercapai hingga akhir tahun. Ini kan baru Agustus ya harus tercapai," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (3/8).
Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi DKI mencatat selama semester I/2017 realisasi investasi dalam negeri mencapai Rp10,2 triliun, naik 96,2% dari Rp5,2 triliun pada periode yang sama 2016.
Adapun, realisasi investasi asing mencapai Rp14,6 triliun atau naik 2,8% dari Rp14,2 triliun pada periode yang sama 2016.
Saat ini pihaknya tengah menggenjot untuk mengejar target investasi dengan melakukan berbagai inovasi layanan yang bisa dimanfaatkan oleh kalangan pelaku usaha yakni mempercepat realisasi dan kepastian perizinan investasi.
Baca Juga
Edy menambahkan DPMPTSP DKI Jakarta dapat berkontribusi pada kenaikan peringkat indeks kemudahan berbisnis atau ease of doing business Indonesia yang ditargetkan pada tahun ini berada pada peringkat 40 dunia.
Menurutnya, pencapaian investasi dalam negei dan asing pada triwulan II/2017 sebesar Rp24,8 Triliun di DKI memiliki kontribusi 14,5% dari total investasi nasional yang Rp170,9 triliun.
Dia mengatakan DKI masih menjadi primadona bagi investor baik dalam negeri maupun asing terutama untuk sektor yang paling diminati yaitu transportasi, gudang, dan telekomunikasi mencapai 73,3%; perdagangan dan reparasi 9,4%; serta perumahan, kawasan industri, dan perkantoran 7,3%.
Untuk investasi dalam negeri, tiga sektor yang paling diminati yaitu perumahan; kawasan industri dan perkantoran 29,38%; jasa lainnya 14,86%; serta transportasi, gudang, dan telekomunikasi 14,66%.
Sementara itu, Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan perbaikan birokrasi dan sistem perijinan menjadi faktor penting dalam pencapaian nilai investasi yang mencapai hampir 80% dari target tahunan.
Menurutnya, sebagai barometer ekonomi nasional, revolusi birokrasi di DKI Jakarta mencerminkan iklim investasi Indonesia yang cukup baik.
Dia menilai, iklim usaha akan menjadi faktor pertama yang menjadi perhitungan bagi setiap investor yang akan menanamkan modalnya di DKI.
Menurut indeks kemudahan berusaha yang dirilis oleh World Bank, Indonesia menempati posisi 109 atau naik 11 level dari posisi 120.
"Artinya memang ada perbaikan iklim usaha dan kemudahan berusaha," katanya.
Dirinya menambahkan, menurut standar S&P jika dilihat dari segi investment grade, DKI Jakarta saat ini berada di posisi penting dengan menjadi bagian dari kelompok investor.
"Yang tidak kalah penting adalah perbaikan infrastruktur, artinya masalah-masalah yang sebetulnya jadi hambatan selama ini yaitu iklim bisnis, infrastruktur, serta pengakuan dari dunia asing, sudah mengalami peningkatan," ujarnya.
Menurut Dendi, saat ini sektor investasi yang menarik perhatian investor asing maupun domestik ada pada infrastruktur terlebih lagi saat ini pemerintah sedang giat melakukan pembangunan infrastruktur di Ibukota dan menyasar jangkauannya ke daerah tetangga.
Sektor lain yang tidak kalah menarik yaitu industri makanan dan minuman yang saat ini digemari dan berlangsung dalam skala besar.
"Satu lagi mungkin pengembangan properti, ini salah satu yang menarik karena pertumbuhannya cukup tinggi untuk kebutuhan perumahan atau apartemen," ujarnya.
Dendi memproyeksikan iklim investasi DKI Jakarta selama semester II/2017 nanti akan meningkat lebih tinggi dari target daerah maupun nasional.
"Pertumbuhan ekonomi di Jakarta tahun lalu saja cukup tinggi ya 6,48% dan pendorongnya memang berada di sektor investasi dengan pertumbuhan 6,3%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional ada pada kisaran 5%," tuturnya.
Untuk memanfaatkan momentum tersebut Dendi merekomendasikan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk menindak lanjuti kebijakan upah minimum regional atau UMR DKI yang cukup tinggi.
"Jadi di Jakarta itu UMR hampir lebih dari Rp3 juta pada akhirnya tidak bisa lagi menampung industri yang labour intensive atau padat tenaga kerja," katanya.
Dengan kondisi demikian secara natural industri padat karya akan berpindah ke daerah yang kemudian berdampak pada keterbatasan kapasitas pengusaha dalam memperkerjakan buruh dengan keterampilan khusus.
"Jika arahnya seperti ini berarti pemerintah Jakarta harus tanggap untuk mendukung industri dengan karakteristik berbeda," ujarnya.