Bisnis.com, JAKARTA — Dalam mengatasi sampah, Ibu Kota harusnya tak perlu terlalu mengandalkan proyek pengelolaan sampah Intermediate Treatment Facility (ITF). Akar permasalahan sebenarnya telah terlihat, dan masih menanti untuk diselesaikan.
Seperti diketahui, sebelumnya Ibu Kota tampak menanti-nanti kehadiran ITF Sunter, yang rencananya dibangun di bilangan Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sebab, tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang diproyeksi penuh pada 2021.
Harapannya, fasilitas pengolahan sampah dengan kapasitas 2.200 ton sampah rumah tangga dan menghasilkan listrik 35 megawatt per hari ini dapat mengurangi produksi sampah yang dihasilkan DKI Jakarta, yakni sekitar 7.824 ton/hari sehingga total timbunan sampah mencapai lebih dari 2,5 juta ton/tahun.
Selaku pengelola ITF Sunter, PT Jakarta Solusi Lestari (JSL) yang merupakan perusahaan patungan antara badan usaha milik daerah PT Jakarta Propertindo dan badan usaha milik negara Finlandia di sektor pembangkit listrik Fortum, memproyeksi awal pembangunan bisa dimulai pada 2020, sehingga target pembangunan selama 36 bulan tercapai pada 2022.
Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menekankan bahwa ITF akan percuma apabila produksi sampah di Jakarta terus bertambah.
"Buat apa punya ITF kalau sampahnya nggak berkurang. Kalau dibandingkan dengan Surabaya yang heboh kemarin, kekuatan utama mereka itu bukan ITF yang mereka punya, tapi kekuatan bu Risma yang mampu mengurangi produksi sampah," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (7/10/2019)
Menurut Yayat, kunci menyelesaikan tantangan mereduksi sampah hingga 20-30 persen ada pada regulasi pemerintah. Pengelolaaan dan pengolahan memang penting, tapi yang lebih penting ialah menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mengurangi produksi sampah.
"Misalnya di sana sudah ada Pergub untuk tidak mengandalkan kantong plastik. Kemudian sosialisasi untuk tidak meminum botol kemasan. Rapat tanpa air kemasan, pakai gelas langsung. Atau penggunaan pemurni disposal water supaya bisa diminum," ujar Yayat.
"Atau bagaimana membuat sistem pengolah sampah yang menggandeng masyarakat. Itu semua upaya untuk memgurangi produksi sampah. Jadi jangan lagi sistem angkut dan buang saja," tambahnya.
Menurutnya, gebrakan seperti Pasukan Ember di Depok patut ditiru oleh Jakarta. Di mana pemerintah bekerja sama elemen masyarakat, mengumpulkan sampah-sampah anorganik yang sudah dipilah oleh restoran, pusat perbelanjaan, mini markat, dan tempat-tempat penyedia layanan lainnya.
Sebab, ITF memang mampu mengurangi sampah, namun masih ada juga sisa limbahnya sekitar 20 persen. Jadi percuma saja apabila di hulunya, sampah masih perlu dipilah oleh pihak pengelola ITF.
"ITF juga memang secara kuantitatif kalau ada di empat tempat, dengan kapasitas 2200 ton itu seluruh sampah Jakarta bisa diselesaikan. Tapi kalau produksinya tidak pernah berkurang, ya sama saja. Kita akan terus kekurangan ITF. Kemudian kesulitan lagi membuang limbah sisa ITF itu," tutupnya.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafruddin pun bukan termasuk orang yang menanti-nanti proyek ini. Dirinya mengaku kurang 'sreg' atau kurang mantap dengan proyek ITF Sunter.
Alasannya, pria yang akrab disapa Puput ini menyayangkan teknologi incinerator yang dipilih sebagai komponen Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) ITF Sunter. Menurutnya, hal ini tak jauh berbeda dengan kegiatan membakar sampah.
Belum lagi, Puput khawatir asap pembuangan yang dihasilkan tak akan jauh berbeda dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada umumnya, dan justru memperburuk isu polusi udara yang tengah dihadapi Ibu Kota.
"Sebenarnya banyak pilihan teknologi yang bisa dipakai, seperti pyrolysis yang bahkan sudah sering dibuat teman-teman mahasiswa dalam negeri. Teknologi ini lebih tertutup dan lebih ramah lingkungan karena tidak bertumpu pada aktivitas pembakaran," ungkap Puput kepada Bisnis, Kamis (3/10).
Namun, Puput mengakui ada dilema tersendiri yang membuat pembangunan fasilitas pengelolaan sampah ITF Sunter menggunakan incinerator. Puput paham bahwa pemerintah masih memprioritaskan kecepatan pembangunan dan harga teknologi yang murah.
Direktur Keuangan PT Jakarta Solusi Lestari (JSL) Nagwa Kamal mengonfirmasi bahwa teknologi yang bisa digunakan untuk ITF bermacam-macam. Teknologi yang diusung ITF Sunter dipilih sebab permasalahan sampah di Jakarta perlu ditangani sesegera mungkin.
"Teknologi incenerator sangat sesuai dengan penugasan untuk upaya pengurangan sampah di Jakarta secara cepat dan signifikan," ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (4/10).
Pihaknya menjamin teknologi ITF Sunter akan akan menerapkan baku mutu emisi cerobong sesuai standar EURO 5. Lebih ketat dibandingkan baku mutu Indonesia.
Selain itu, studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang telah diaelesaikan pun menerapkan environment and sosial impact analysis (ESIA), demi memenuhi standar International Finance Corporation (IFC) dari World Bank, yakni pihak yang tertarik untuk memfasilitasi pendanaan ITF Sunter.
Teknologi lain akan diusung agar ITF Sunter tak menjadi masalah baru bagi polusi udara Ibu Kota.
Di antaranya, incinerator dengan teknologi sisa abu hanya ±20% dari total sampah yang diolah, pemanas Grate Boiler bertemperatur 850 derajat celcius dengan sistem Flue Gas Treatment untuk mengurangi polutan, air polution control residue untuk menangkap abu beterbangan dari cerobong, dan Pollutant Control System dengan metode aelective non-catalytic reduction, Semi Dry Scrubber, dan Spray Drying Absorption Baghouse Filter.