Bisnis.com, JAKARTA--Pemprov DKI gencar melakukan sosialisasi terkait pembangunan jaringan terpadu utilitas (ducting) kepada pemangku kepentingan, yaitu Asosiasi Jasa Telekomunikasi (Apjatel), operator selular, PLN, PGN, dan PAM Jaya.
Pengelolaan ducting terpadu diberikan kepada BUMD DKI, yaitu PD Pembangunan Sarana Jaya dan PT Jakarta Propertindo.
Namun, antusiasme para pemangku kepentingan tersebut untuk mendukung Pemprov DKI menata ulang jaringan utilitas berubah 180 derajat ketika disuguhkan estimasi skema tarif yang terlalu mahal.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, Pemprov DKI, JakPro, dan PT Sarana Jaya dapat melibatkan pelaku usaha penyedia layanan publik dan penyelenggara telekomunikasi sebelum menetapkan harga sewa.
“Jika harga terlalu mahal akan memberatkan perusahaan dan ujung-ujungnya biaya tersebut akan dibebankan ke masyarakat.
Namun, jika terlalu murah, Pemprov DKI juga tidak memiliki kemampuan untuk perawatan dan pengembangan ducting di masa depan,” ujarnya, Senin (2/12/2019).
Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Sarana Jaya, mekanisme bisnis yang akan ditawarkan oleh Sarana Utilitas kepada operator yaitu sekali Pembayaran (One Time Charge).
Harga sewa untuk pelaksanaan pembuatan ducting terpadu dengan kondisi trotoar telah dilakukan revitalisasi dengan pembuatan Manhole per 200 m dengan End-hole per 100 m dipatok Rp 700 ribu/meter untuk tiap oprator per satu ruas jalan.
Sementara itu, pelaksanaan pembuatan ducting terpadu dengan kondisi trotoar belum direvitalisasi dengan pembuatan Manhole per 200 m tanpa pembuatan End-hole per 100 m dipatok Rp 600 ribu/meter untuk tiap operator per satu ruas jalan.
Di sisi lain, PT Jakarta Propertindo (JakPro) menawarkan sewa kabel sebesar Rp 70 ribu meter per tahun untuk satu ruas jalan di Jakarta.
Selain soal harga sewa, dia menilai konsep ducting yang dibuat oleh Sarana Jaya dan Jakpro seharusnya ada kepastian bahwa gorong-gorong aman dari segala jenis gangguan.
“Dari informasi yang saya dapat, nampaknya tidak ada standar yang jelas sehingga dapat disebut disebut cable ducting. Apalagi sewanya mahal," ucapnya.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemenenterian Komunikasi dan Informatika Ismail menilai harga tersebut terlalu mahal. Dia berharap Pemprov DKI tidak mematok biaya sewa yang besar bagi perusahaan penyedia layanan publik.
"Pemprov DKI seharusnya mempertimbangkan harga sewa yang lebih terjangkau agar tidak membebankan masyarakat maupun pelaku usaha," katanya.
Dia mengatakan Pemprov DKI keliru mengenai infrastruktur telekomunikasi. Pasalnya, pemerintah daerah cenderung menjadikan infrastruktur telekomunikasi sebagai lumbung pendapatan asli daerah (PAD) dengan membebankan retribusi yang memberatkan kepada perusahaan.
Padahal, sektor telekomunikasi dan penyedia layanan kepada masyarakat tidak dibebankan hal tersebut.
“Jika sarana utilitas yang dibuat pemerintah daerah tersebut terjangkau maka diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan pajak dapat tercapai," jelasnya.
Penetapan harga yang semena-mena yang dilakukan ini disebabkan adanya pemberian hak eksklusif dari Pemprov DKI kepada Jakpro dan Sarana Jaya Pergub No 6/2019 tentang Pedoman Penyelenggaraan Infrastrktur Jaringan Utilitas. Setelah jaringan utilitas tersebut dibangun oleh pemerintah, maka semua operator wajib menyewa kepada dua BUMD DKI.
Fenomena pemerintah daerah memonopoli jaringan utilitas dan untuk menggenakan biaya sewa yang sangat tinggi bagi PLN, PGN dan operator telekomunikasi sudah mulai marak terjadi. Sebelum Pemprov DKI, Pemkot Surabaya telah mendapatkan protes dari penyedia infrastruktur dasar karena mengenakan biaya sewa yang sangat mahal.
"Kalau seluruh daerah menerapkan retribusi atau sewa yang tinggi kepada operator telekomunikasi, rencana pemerintah untuk membuat smart city dan broadband yang terjangkau bagi masyarakat akan terhambat," ucapnya.