Bisnis.com, JAKARTA - Polusi udara masih menjadi permasalahan di Jakarta. Menurut catatan Air Quality Index (AQI), kualitas udara Jakarta di zona merah atau tidak sehat dengan indeks AQI US 165 pada Selasa (5/7/2022) pukul 07.00 WIB.
Hal tersebut juga diakui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak menampik polemik polusi udara masih terjadi di Jakarta. Hal tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Ibu Kota.
"Apakah Jakarta bersih? Belum. Kita ber-dekade menyaksikan adanya emisi [gas] kendaraan bermotor," kata Anies dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta ke-495 di Plaza Senayan Monas, Rabu (22/6/2022).
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak hanya diam menyaksikan kondisi tersebut. Jakarta diketahui memiliki "Program Langit Biru" untuk pengendalian polusi udara.
Beberapa program tersebut di antaranya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), Kebijakan Ganjil-Genap, dan Uji Emisi. Pemprov DKI juga meningkatkan pembangunan transportasi umum, dan ruang terbuka hijau (RTH).
Namun, apakah hal tersebut sudah sepenuhnya cukup dan kapan Jakarta akan lepas dari permasalahan polusi udara?
Baca Juga
Peneliti Global Health Security dan Kesehatan Lingkungan Dicky Budiman mengakui bahwa polusi udara merupakan masalah yang pelik. Tentunya memakan waktu yang tidak sebentar untuk mengatasi hal tersebut.
Dia menjelaskan, bahwa dalam membuat suatu program, pemerintah (dalam hal ini Pemprov DKI) harus mengidentifikasi masalah atau mengetahui penyebab utama polusi udara.
"Di mana pun tidak hanya Jakarta langkahnya: apakah tepat atau tidak ini yang harusnya dilakukan, kalau istilah akademi mengidentifikasi masalah," kata Dicky kepada Bisnis, Kamis (7/7/2022).
Ada empat faktor yang menjadi masalah utama polusi udara secara umum.
Pertama, yang bersifat bergerak seperti bahan bakar yang dihasilkan dari kendaraan seperti mobil, bus, truk, kereta, pesawat, dan kapal laut.
Kedua, yang sifatnya menetap, seperti pembangkit listrik yang menghasilkan energi dengan diesel, kan ada polusinya. Dan fasilitas-fasilitas industri pabrik itu berkontribusi bahkan bukan hanya udara juga, tapi ada air dan tanahnya.
Ketiga, wilayah, daerah pertanian misalnya berkontribusi pada masalah udara karena pembakaran lahan.
Keempat, wilayah kota berkontribusi pada polusi udara karena aktivitas manusia.
"Ada orang merokok, ada orang melakukan aktivitas makan memasak dan lain sebagainya. Kemudian secara alam juga ada kebakaran hutan atau letusan gunung berapi,” tukasnya.
Kendaraan
Dicky pun menilai bahwa kendaraan menjadi salah satu kontributor utama yang menyebabkan polusi udara di Jakarta.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai 20.221.821 unit pada 2020, terdiri dari motor, mobil penumpang, bus, dan truk yang teregistrasi.
Adapun, kendaraan roda dua alias motor menjadi yang paling mendominasi dan angkanya mencapai 16.141.380 unit pada 2020.
Dicky menyarankan pemerintah dapat membatasi jumlah mobil yang beredar dengan kuota harian dan jumlah pelat nomor baru dibatasi setiap tahun.
"Langkah yang dilakukan adalah membatasi kapasitas mobil, beban negara di jalan itu menjadi berkurang. Karena mobil salah satu yang berkontribusi, jumlah mobil dibatasi dengan kuota harian dengan plat baru yang dibatasi," katanya.
Ruang Terbuka Hijau
Untuk mengatasi masalah polusi udara tidak hanya cukup dengan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH). Perlu mengurangi penggunaan gas, termasuk gas rumah tangga. Selain itu, penggunaan listrik dengan energi terbarukan juga penting.
"Menyelesaikan semua ini tidak hanya cukup dengan membangun pohon menyediakan lahan terbuka, tidak cukup. Misalnya saja negara maju sudah mengurangi penggunaan gas, karena selain keamanan juga polusi. Itu memakai listrik, listriknya tenaga angin, tenaga ombak atau sumber produk tenaga listrik yang enviromental friendly [ramah lingkungan], " paparnya.
Kesadaran Lingkungan
Dicky juga menekankan perlu menggalakkan pembangunan berdasarkan lingkungan. Pasalnya apabila pembangunan terus digalakkan, namun tidak ada kesadaran lingkungan, maka tak memberikan perubahan apapun.
Dia kemudian memberi contoh Kota Seoul yang membangun ruang terbuka hijau (RTH) sekaligus mengurangi akses kendaraan. Negeri Gingseng tersebut diketahui membangun kembali Sungai Cheonggyecheon yang sebelumnya sempat dibangun menjadi jalan layang.
"Dengan pembangunan tersebut orang jadi cenderung mengurangi memakai kendaraan sendiri. Kemudian ditambah fasilitas transportasi publik yang lebih nyaman, lebih hemat ramah energi dan membuat orang sadar ramah lingkungan. Tidak hanya fisik tapi mental juga penting, sifat pencinta lingkungan itu yang harus dibangun," papar Dicky.
Contoh lain, China mampu memperbaiki kualitas utara hanya dalam tujuh tahun. Negara tersebut memangkas kontribusi utama polusi udara di negara yakni dengan menutup pabrik-pabrik yang menggunakan batu bara.
"Sekali lagi dengan melihat mana yang jadi kontributor utama itu yang, tentu diganti dan juga mempromosikan energi lain yang terbarukan yang lebih aman," pungkasnya.