Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Gubernur DKI Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka masih menuai protes akibat aturan kapasitas suara hanya boleh 60 desibel.
Ketua Konfederasi Pergerakan Rakyat DKI Jakarta Rio Ayudhia Putra menyatakan, kapasitas suara 60 desibel hanya seperti volume berbicara normal antar manusia.
"60 desibel itu seperti saya ngobrol sama anda di dalam rumah. Ini mau demol atau ngetweet di twitter? Atau mau ngobrol di warung kopi?," ujar Rio di Ruang Rapat Komisi A, DPRD DKI, Selasa (10/11/2015).
Rio menilai aturan tersebut sama saja dengan pembungkaman atas aksi unjuk rasa.
"Sama saja seperti demo itu tutup mulut. Bisik-bisik tetangga namanya demo. Maka, lebih baik Pergub ini dicabut dibandingkan menghabiskan dana rakyat," tegas Rio.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta Ratiyono mengungkapkan, aturan 60 desibel dibuat berdasarkan produk hukum sebelumnya, yakni Keputusan Gubernur Nomor 551 Tahun 2001 tentant Penetapan Baku Mutu Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta.
"Memang ada ketentuannya, bahwa ada aturan yang di peruntukkan pada kawasan lingkungan dan kegiatan. Misalnya, peruntukkan kawasan rumah 55 desibel. Kawasan perdagangan dan jasa 70 desibel. Kemudian untuk ruang terbuka hijau itu ada 60 desibel," sanggah Ratiyono.
Ratiyono menegaskan, ketentuan dari produk hukum Kepgub No.551/2001 itulah yang menjadi salah satu dasar Pergub No.228/2015.
"Ini dijelaskan supaya ada persepsi kami tidak ngawur," sambungnya.