Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan pungutan sejumlah pos pajak mendapat kritik.
Farouk Abdullah Alwyni, Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) menilai kenaikan pungutan PBB 2018 perlu di kaji ulang.
Menurutnya, Pemprov DKI harus cermat dengan mempertimbangkan dampak jangka menengah dan panjangnya terhadap masyarakat. Alasannya, sejak 2014, Jakarta telah mengalami kenaikan tarif PBB yang fantastis.
"Pemprov DKI Jakarta beralasan kenaikan itu –PBB 2014- dilakukan karena sebelumnya tidak pernah ada kenaikan PBB. Tapi alasan ini tidak akurat jika mereview pergerakan kenaikan PBB di tahun-tahun sebelumnya," katanya, Sabtu (26/5/2018).
DKI Jakarta baru-baru ini kembali meningkatkan tarif yakni sekitar10%-15%. Pos yang dinaikkan adalah pajak air tanah, pajak parkir gedung, dan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Rencana kenaikan pajak tersebut tidak terlepas dari target Pemprov DKI yang mengerek pendapatan pajak dari Rp 36,125 triliun menjadi Rp 38,125 triliun pada tahun ini.
Baca Juga
Farouk melihat kenaikan tersebut berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat Jakarta karena alokasi dana yang perlu dikeluarkan meningkat sedemikian rupa. Menurut Farouk, pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kelas menengah.
"Di sini negara bukannya membawa maslahat bagi masyarakat malah membawa mudharat," kritiknya.
Dia menambahkan, seharusnya sebelum menaikkan kembali PBB, Gubernur DKI Jakarta yang baru perlu mereview kembali kebijakan kenaikan PBB yang sangat tidak logis pada 2014.
Di satu sisi Farouk mengapresiasi kebijakan Gubernur Anies Baswedan yang mencabut pemberian potongan atau diskon PBB sebesar 50% untuk lapangan golf.
Memang, menurut Farouk diskon besar untuk lapangan golf adalah sangat tidak proporsional mengingat pihak yang menikmati permainan golf adalah orang-orang yang sangat mampu, sedangkan di sisi lain sangat sulit bagi anggota masyarakat biasa untuk mendapatkan potongan PBB sebesar 50%.
Farouk menjelaskan, pungutan PBB yang semakin tinggimembebabankan para pemilik rumah di dalam kota (khususnya daerah Jakarta Pusat). Belum lagi Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta memberikan stigma yang tidak etis, yakni dengan dengan menempelkan tanda besar di depan rumah warga yang tidak bisa membayarkan PBB.
"Pertimbangan peningkatan pajak karena suatu daerah adalah daerah komersial juga melakukan sebuah generalisasi yang tidak proporsional, karena lepas dari daerah Thamrin dan Sudirman, peningkatan PBB berdampak ke wilayah sekitarnya. Padahal, daerah sekitar Thamrin dan Sudirman itu rumah dan bangunan komersial masih bercampur," jelasnya.
Kata dia, peningkatan pajak yang drastis di tahun 2014 dan di lanjutkan di tahun 2018 ini bukan saja tidak manusiawi tetapi juga tidak rasional dan bersifat oppressive karena memberikan beban yang sangat berat kepada masyarakat pada umumnya.
Hal ini pun janggal jika mempelajari konteks perpajakan internasional bagi masyarakat negara-negara maju. Apalagi kalau di negara maju setiap peningkatan pajak harus diimbangi oleh perbaikan pelayanan publik dan juga infrastruktur yang nyata.