Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama berulangkali mengeluarkan pernyataan pedas tentang bisnis air bersih di Jakarta yang justru dikuasai asing.
Mau tidak mau Pemprov DKI Jakarta harus legawa dengan hal tersebut karena dua operator asing yakni PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) di Jakarta wilayah barat dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) wilayah Timur mengantongi konsesi sejak pemerintahan Presiden Soeharto.
Sayangnya dalam kontrak perjanjian tersebut dinilai tidak adil bagi kedua belah pihak. Alhasil Pemprov DKI langsung berniat mengakuisisi Palyja dan melakukan rebalancing kontrak dengan Aetra supaya bisnis air di Jakarta berjalan lebih fair.
Aetra sudah melakukan pembicaraan intensif soal penyesuaian kontrak dengan PD Pam Jaya, BUMD yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta yang ditargetkan dalam waktu dekat bisa selesai. Sementara Palyja yang 51% sahamnya dimiliki perusahaan Perancis Suez Environnement akan diakuisisi oleh PT Pembangunan Jaya, sisanya 49% saham dimiliki PT Astratel Nusantara diakuisisi PT Jakarta Propertindo dimana dua-duanya BUMD milik DKI.
Upaya akuisisi tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk ahli hukum tata kelola air Erry Riyana Hardjapamekas karena secara undang-undang yang berlaku diperbolehkan. Kalau bisa tahun ini segera dituntaskan demi perbaikan layanan kepada masyarakat Jakarta.
"Akuisisi oleh Jakpro terhadap Palyja adalah langkah baik untuk kembali mengambil alih pengelolaan air dari asing kepada pemerintah," katanya, Kamis (20/3/2014).
Selain itu sejumlah elemen pun menggugat swastanisasi air karena memiliki pandangan yang sama untuk perbaikan layanan air bersih di Jakarta. Hanya saja, Erry meminta baik Pembangunan Jaya maupun Jakpro harus mengutamakan pelayanan bukan sekedar profit saja.
Pakar air juga sudah duduk bersama dalam sebuah diskusi bersama pemangku kepentingan air mibum di Ibu Kota beberapa waktu lalu bertema solusi masalah pelayanan air minum Ibu Kota dan rencana akuisisi Palyja oleh pemprov DKI.
Firdaus Ali selaku dewan sumber daya air mengatakan masalah dan tata kelola air di Jakarta sangat berat jika tidak ditangani secara serius dan berkesinambungan. Langkah yang harus dilakukan saat ini adalah membenahi tata kelola air bersih, memastikan ketersediaan air baku, dan pada saat yang bersamaan mempercepat negosiasi ulang dengan operator air bersih.
Menurutnya kedua operator swasta yang mengelola air bersih untuk Ibu Kota hanya bisa menghasilkan 18.7 meter kubik per detik, sementara kebutuhan sebenarnya mencapai 29,6 meter kubik per detik dengan asumsi jumlah penduduk DKI 9,6 juta jiwa.
Dengan perhitungan tersebut, kebutuhan akan meningkat menjadi 41,3 meter kubik per detik pada tahun 2025 dengan asumsi jumlah penduduk 14,6 juta jiwa. "Kalau belum ada solusi krisis air saat ini, Jakarta dan wilayah sekitarnya akan memperebutkan sumber air yang sama," kata Firdaus.
Prof Hikmahanto Juwana, ahli hukum tata kelola air mengingatkan pemprov DKI harus hati-hati melakukan akusisi karena perusahaan yang akan diambil alih dimiliki pihak asing.