Bisnis.com, JAKARTA - Persoalan emosional yang mendominasi isu Revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) jangan sampai melupakan masalah substansial, demi memperbaiki kualitas pusat kesenian Ibu Kota.
Seperti diketahui, Revitalisasi TIM kini memasuki babak baru setelah Komisi X DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan Forum Seniman Peduli TIM. Isu moratorium pun kembali mencuat.
Sementara itu, Komisi X DPR RI akan memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan PT Jakarta Propertindo selaku badan usaha milik daerah (BUMD) pengawal proyek untuk menjelaskan progres pembangunan.
Hikmat Darmawan, kurator sekaligus Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengungkap bahwa moratorium untuk TIM justru lebih banyak mudaratnya.
"Pijakannya adalah TIM itu bagian dari ekosistem seni di Jakarta. Jadi buat kami, terpenting bagaimana membangun ekosistem seni di Jakarta yang lebih baik, lebih sehat, lebih bagus. Dalam konteks ini kami tidak terikat dengan sakralisasi bangunan," ungkapnya kepada Bisnis.com, Selasa (18/2/2020).
"Kalau itu revitalisasi fisik dalam arti memperbarui bangunan dan ruang seni di TIM tanpa mengganggu yang sifatnya cagar budaya, kalau dia memperbaiki standar berkesenian, tentu saja kami setuju," tambahnya.
Baca Juga
Menurutnya, yang patut dicatat oleh para pengusung moratorium, yakni melihat kondisi bangunan yang sudah dibongkar.
"Rencananya jadi pada 2021. Kalau tetap tuntutannya dihentikan, maka kegiatan seni dan senimannya jelas rugi. Komunitas tari sudah bertanya-tanya ini kapan ada gedung baru dan berapa sewanya. Ini kan berarti mereka tengah kehilangan tempat untuk latihan maupun pertunjukan," ungkapnya.
Selain itu, Hikmat menjelaskan terutama terkait nasib ratusan ribu arsip cetak semacam makalah, manuskrip, katalog, kliping, 7.000-8.000 kaset, video, dan masing-masing 300-an koleksi lukisan DKJ dan koleksi TIM kini menumpuk di gudang.
"Yang saya tarik ada kondisi arsip juga yang harus pindah ke kondisi darurat sekarang. Ini resikonya besar kalau pembangunan terhenti. Saya secara umum melihat kebutuhan itu. Revitalisasi fisik itu oke dan harus jelas target tercapainya [selesai dibangun]," ungkap Hikmat
Jangan 'Menyembah' Gedung
Hikmat menjelaskan bahwa bangunan TIM yang harus dipertahankan sebagai cagar budaya, sebenarnya yang telah mendapat status cagar budaya hanya planetarium, itu pun hanya kubahnya.
Cagar budaya sendiri memiliki beberapa syarat, misalnya telah berusia 50 tahun. "Kalau pun tidak, harus punya makna sejarah. Lebih dulu dari itu adalah apakah bangunan itu mewakili tonggak arsitektur suatu zaman," jelasnya.
Oleh sebab itu, Himat memberi contoh Graha Bhakti Budaya yang juga hasil revitalisasi pada tahun 1980-an.
"Bahkan itu bisa dicek, sejarahnya, ada unsur ingin meredam dalam tanda kutip keliaran para seniman di teater arena dan teater tertutup. Di mana di situ ada eksperimentasi yang sikapnya kritis kepada kekuasaan dan gejala sosial. Itulah kenapa [alm. Presiden] Soeharto bikin Graha Bhakti Budaya," ungkap Hikmat.
"Tentu saja dalam sejarahnya seniman beradaptasi. Tapi dari segi kelayakan, kalau misalnya tanya pelaku sejarah di bidang tari, dari dulu mereka tidak suka dengan Graha Bhakti Budaya karena tidak memenuhi kualifikasi panggung seni tari yang bagus, secara teknis, ya. Teater atau seni musik menggunakan itu karena menyesuaikan dan adaptasi. Tapi dari namanya saja itu memang lekat dengan rezim Soeharto waktu itu," tambahnya.
Terlebih, dalam Revitalisasi TIM kali ini, pihak Pemprov DKI telah membuat tim revitalisasi dengan mengajak berdiskusi para seniman pada 2018. Namun, Hikmat pun bingung kenapa waktu itu persoalan bangunan dan proyek minim dibahas, justru masalah organisasi dan keanggotaan yang dominan.
Kelemahan Pemprov
Oleh sebab itu, menurut Hikmat, sebaiknya kini para seniman lebih banyak mendiskusikan masalah substansial yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk dibicarakan.
Misalnya, terkait bagaimana pembagian pengelolaan TIM antara para seniman dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku bersama PT Jakarta Propertindo selaku penggagas dan pelaksana pembangunan, serta bagaimana voting rights para seniman sebagai bagian komposisi pemangku kepentingan.
"Tentu saja pihak Pemprov sebagai yang punya lahan bangunan, dengan pihak Jakpro yang mengeluarkan investasi untuk membangun, pasti butuh pengembalian investasi. Nah, bagaimana model pengelolaan agar terbagi model investor dan seniman dua-duanya terjaga. Itulah yang sedang kami kawal, agar seniman juga punya voting rights," jelasnya.
Pasalnya, kekurangan utama Pemprov ada pada belum jelasnya metode pengelolaan TIM ketika sudah berdiri lagi nanti, yang rencananya rampung 10 November 2021.
"Kalau yang saya tangkap dari Pemprov, baru pada awal 2021, baru ada kajian model ideal pengelolaan. Kalau kami bilang sih mestinya dari sekarang dikaji," jelasnya.
Karena dalam tahap pembangunan, pihak arsitek atau Jakpro sebagai pelaksana, memang harus mengakomodir seniman terkait bagaimana ruang-ruang yang ada untuk dikelola.
"Misalnya galeri, untuk seni rupa kontemporer, beda loh dengan galeri seni tahun 1970-an yang cuma perlu dinding. Ada aspek teknis. Misalnya listriknya memadai atau tidak, karena banyak seni rupa sekarang yang pakai teknologi. Itu harus dipikirkan [sejak sekarang]. Teater, film, butuh apa, itu juga," jelasnya.
Namun menurut Hikmat, pihak seniman tidak bisa menjadi pihak yang benar sendiri dan minta uang dikelola sendiri. Terlebih, dengan dikelola Jakpro sebagai BUMD, sebenarnya isu komersialisasi tidak lagi relevan.
"Bandingkan dengan kalau diserahkan dengan pihak swasta seutuhnya, mereka pasti cuma pengen untung. Tapi ini ada yang kembali ke daerah dan bisa jadi dikembalikan juga untuk kegiatan seni. Makanya sedang kita vokasi untuk ke situ," jelasnya.