Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap melanjutkan realisasi proyek jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di tengah polemik gagal lelang, dianggap sudah tepat.
Seperti diketahui, sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan PT Bali Towerindo Sentra, Tbk. selaku pemenang tender ERP lama.
PTUN mengabulkan keinginan penggugat agar Pemprov DKI mencabut objek sengketa berupa Surat Pengumuman Pembatalan Lelang Sistem Jalan Berbayar Elektronik pada 2 Agustus 2019, sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Gugatan perkara dengan No. 191/G/2019/PTUN.JKT. ini pun mengharuskan Pemprov DKI tak melakukan tindakan-tindakan lebih lanjut sehubungan dengan keputusan yang dapat merugikan penggugat, antara lain mengadakan proses pelelangan baru.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Syafrin Liputo menegaskan tetap akan menggelar lelang ERP baru. Namun, dengan tetap mengakomodasi PT Bali Towerindo Sentra, Tbk. lewat mengundang mereka masuk proses lelang.
Pengamat Transportasi dari Universitas Indonesia (UI) sekaligus peneliti Indonesian Urban Transport Institute (Iutri) Alvinsyah mengungkapkan beberapa alasan urgensi ERP terus berprogres.
Pertama, karena kebijakan ERP merupakan kebijakan push atau menekan penggunaan kendaraan pribadi yang lebih ideal daripada ganjil-genap (gage). Menurutnya, gage harus dipahami sebagai kebijakan antara, dan pada saatnya nanti harus dihentikan.
"ERP lebih adil ada benarnya dibanding dengan gage, karena pengguna kendaraan pribadi bisa memilih untuk bayar atau pindah ke angkutan umum," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (9/3/2020).
Di sisi lain, imbuhnya, dana hasil retribusi ERP bisa dimanfaatkan untuk pelayanan angkutan umum. Namun, kebijakan gage ataupun ERP agar lebih optimal harus didukung dengan berbagai kebijakan lainnya, baik di sektor transportasi maupun nontransportasi.
Baca Juga
Alvinsyah pun memahami, berat merealisasikan ERP sebab kebanyakan kendala yang terjadi justru datang dari aspek nonteknis seperti kasus ERP lama.
"Perlu diingat, kebijakan transportasi adalah kebijakan politis, apalagi menyangkut pembatasan penggunaan pribadi. Banyak pihak yang akan terganggu zona nyamannya," jelasnya.
Menurutnya, banyak aspek peluang bisnis, investasi, pengadaan, dan lain sebagainya, akhirnya dua sampai tiga tahun lalu proses tender ERP gagal. Hal tersebut merupakan indikasi banyak yang merasa terganggu, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menggagalkan kebijakan ini.
Alasan kedua, menurut Alvinsyah sebagai seorang akademisi, ERP memang terbukti efektif menekan laju penggunaan kendaraan pribadi. Asalkan, Pemprov DKI juga tak melupakan paket kebijakan lain yang juga mendukungnya, seperti kenaikan tarif parkir.
"Hasil penelitian saya dan mahasiswa saya terhadap kebijakan ERP dari aspek opini pengguna kendaraan pribadi, bila diterapkan dilingkup kawasan secara menyeluruh atau tidak hanya di ruas-ruas jalan tertentu, ternyata cukup ampuh," jelas Alvinsyah.
"Yang lebih ampuh sebenarnya adalah kebijakan pembatasan ruang parkir dan penaikan biaya parkir di seluruh wilayah DKI. Ini juga dari hasil penelitian kami," tambahnya.
Sekadar informasi, Pemprov DKI tercatat mengajukan kembali anggaran pengoperasian jalur berbayar elektronik pada APBD 2020 sebesar Rp150 miliar, serta Rp325 juta untuk kajian pemanfaatan dana sistem jalan berbayar elektronik.
Beriringan dengan ini, Pemprov DKI pun tengah memfinalisasi pengajuan Peraturan Daerah (Perda) tentang jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta.
Lelang ditargetkan mulai pada akhir Maret 2020 dan selesai pada Juni 2020 sehingga implementasi bisa terlaksana sebelum tahun 2021.
Nantinya, biaya untuk pembangunan fisik dan sistem ERP di ruas-ruas jalan utama di DKI Jakarta menggunakan skema investasi dengan pihak ketiga. Ruas jalan yang terkena kebijakan ERP akan dimulai bertahap dengan tahap pertama di Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Sudirman-Thamrin.