Bisnis.com, JAKARTA – Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto melihat adanya korelasi antara penyakit yang terkait dengan polusi udara menyebabkan peningkatan klaim BPJS Kesehatan.
Budi menyampaikan berdasarkan hasil studinya, sejak konsentrasi polutan di DKI Jakarta naik pada 2011, penyakit pernapasan seperti asma, pneumonia, dan ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) semakin bertambah.
Hal ini kemudian berpengaruh terhadap peningkatan jumlah klaim BPJS Kesehatan untuk mengatasi penyakit tersebut.
“Temuan yang terbaru saya mencoba menghitung penyakit terkait dengan polusi udara dengan klaim BPJS, kami dapatkan, memang semuanya nilainya di Jakarta dari tahun ke tahun kecenderungannya meningkat terus sampai 2019, klaimnya meningkat,” ujar Budi dalam diskusi The Saboteurs Siapa Melakukan Sabotase Pencemaran Udara Jakarta? Sabtu (25/6/2022).
Meski belum memaparkan jumlah pasti besarannya, jumlah penyakit dan klaim BPJS menurun pada 2020 hingga 2021 yang disinyalir akibat kehadiran Covid-19, yang juga menyerang pernapasan.
“Tren dari penyakitnya meningkat hingga 2019 sejak 2011 akibat polusi udara, asma sampai 2019, pneumonia sampai 2018. Cenderung menurun landai di 2020 dan 2021. Kelihatannya kalau dari sisi analisis bisa kita kaitkan dengan Covid-19, penyakit terkait pernapasan tersamarkan oleh Covid-19,” lanjutnya.
Baca Juga
Dengan kata lain, penyakit yang berhubungan dengan polusi udara dimasukkan ke dalam kategori Covid-19 bersamaan dengan wabah tersebut muncul.
Bisnis mengutip dari situs iqair.com, kualitas udara Jakarta per hari ini, Sabtu (25/6/2022), terpantau masuk dalam 10 besar yang tidak sehat. Hingga pukul 20.30 WIB, AQI (air quality index/indeks kualitas udara) Jakarta berada di angka 139 dengan status tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Polutan utama penyumbang buruknya kualitas udara di Jakarta yakni PM (partical matter) 2,5 dengan kadar 51 µg/m3 per malam hari ini.
Sebagai informasi terkait parameter PM2,5 merupakan parameter pencemar udara paling berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
Berdasarkan acuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Indonesia untuk PM2,5 yakni 15 µg/m3. Artinya, saat ini kualitas udara tidak sehat dan dapat merugikan bagi manusia, hewan, bahkan tumbuhan.
KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbel) mencatat rata-rata konsentrasi PM10 di Jakarta pada 2020 yaitu 59 µg/m3 sementara standar WHO yakni 20 µg/m3. Sementara untuk kadar PM2,5 pada 2020 yang ditarik selama lima tahun terakhir, posisinya di angka 39 hingga 46,1 µg/m3.
Untuk itu, Budi menyampaikan langkah awal bagi masyarakat untuk menghindari polutan-polutan masuk ke dalam paru-paru adalah dengan menggunakan masker dengan jenis N95.
“Jadi standarnya adalah yang disarankan WHO yang tipenya N95 yang dapat menahan PM2,5 dan gas yang terhirup. Paling tidak kalau kita concern terhadap perlindungan diri sendiri, hingga saat ini kita harus menggunakan masker yang proper,” ujarnya.
Budi meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah revolusioner dalam menanggulangi polusi yang sudah sejak 30 tahun memperburuk udara Jakarta. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga kesehatan dan masa depan anak-anak agar terhindar dari penyakit berbahaya.
Pasalnya setiap tahunnya sekitar 7 juta orang meninggal akibat polusi udara. Partikel yang masuk ke tubuh dapat menyebabkan kelahiran prematur, penyakit jantung, gangguan pernapasa, bahkan kematian dini.
“Kami menghirup udara tercemar sudah lama, berobat untuk kanker paru sudah banyak, kalau kemudian yang berupaya mengatasi sumbernya masih ribut soal siapa yang bertanggung jawab atau ada sabotase atau sebagainya, saya kira perlu dipertimbangkan, lakukan secara revolusioner, secepatnya, karena kita tidak pernah berhenti bernapas,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menyampaikan tidak perlu kaget dengan informasi mengenai kualitas udara Jakarta yang masuk dalam daftar terburuk.
Pada kenyataannya, sudah sejak 30 tahun Indonesia terutama Jakarta memiliki kualitas udara yang tidak sehat.
“Jangan terkaget-kaget karena ada publikasi di dua minggu ini memiliki predikat sebagai kota terburuk sedunia. Dari 30 tahun lalu, keadaan konsentrasi berbagai parameter pencemaran udara itu relatif tidak pernah membaik, hanya membaik saat DKI Jakarta menggencarkan implementasi amanat Perda No. 2/2005,” ujarnya.